into the tro

1.4K 65 22
                                    

.

"BANG AJIIIIIIN!"

Jendra tersenyum kecut mendengar teriakan super membahana yang ditujukan padanya itu. Sambil mempercepat langkah dan menunduk sopan meminta maaf pada orang-orang di sekitarnya, lelaki itu mengumpati Hilman—si pelaku yang berteriak barusan—dalam hati.

Hingga ketika akhirnya Jendra mencapai sosok adik tingkatnya itu,

Teriakan Hilman kembali terdengar karena cubitan maut ala Ajendra Setnoaji Nugria baru saja mampir ke lengannya.

Di sisi keduanya, Iyan—teman terdekat sekaligus musuh tersengit Hilman, sudah melepaskan derai tawa yang menjengkelkan. Sama sekali tidak merasa perlu mengatur sikap di hadapan khalayak ramai di sekitar mereka.

Jendra buru-buru menguasai diri—dan keadaan. Dalam hati memaki teman-temannya yang lain, yang tak kunjung menampakan diri dan membiarkan dua  kurcaci ini menimbulkan keributan di teras depan.

"Nak Ajin, ini bagaimana, sudah mau dimulai?" suara seorang wanita paruh baya membuat Jendra refleks menoleh dan tersenyum sopan. Lelaki itu lalu memandang berkeliling sebelum menepuk pundak Iyan.

"Yan, yang lain mana?"

"Bang Seta sama Bang Chandra di dapur, bantu-bantu ngurus konsumsi. Bang Asin sama kroconya—," Iyan setengah tertawa menemukan tatapan kesal Jendra akibat pemilihan katanya barusan. "masih otewe katanya."

"Lah, gimana," celetuk Jendra tanpa sadar.

"Tadi sih, Bang Ijun bilang, dimulai aja, nggak usah nunggu kalo kelamaan."

Jendra memeriksa jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul empat kurang lima belas menit. Ia lalu kembali menatap Bu Nissa—salah satu petugas panti asuhan yang tadi bertanya padanya.

"Nunggu lima belas menit lagi boleh, Bu?"

Ibu Nissa mengangguk sambil tersenyum maklum. Setelahnya, mereka bertiga mengiringi Bu Nissa memasuki ruang depan panti asuhan. Tempat mereka akan mengadakan acara syukuran sekaligus merayakan ulang tahun salah satu teman mereka, sebentar lagi.

"Woi, Jin, udah sampe!" sapa Seta, yang muncul dari arah dapur sambil membawa nampan berisi minuman. Melihat itu, Hilman dan Iyan bergegas menuju dapur—berniat mengusik Chandra, meminta makan.

Jendra sempat memandang berkeliling sebelum menyadari sesuatu.

"Lah, Set," ia menahan Seta yang sudah akan kembali ke dapur. "Ini si Yoga-nya mana?"

Seta menaikan alis. "Kan dijemput sama Asin, Ijun—, eh iya! Lupa ngasih tahu. Aming tadi ijin katanya bakal nyusul, ada urusan dulu, nggak bakal bisa ikut dari awal acara."

Kening Jendra seketika berkerut. "Barusan Iyan bilang, Ijun juga nyuruh mulai duluan aja, dia sama Asin baru otewe."

Kalimat Jendra membuat Seta ikut mengernyit. "Lah kok goblok? Eh maap—," Seta nyengir sambil menutup mulutnya sendiri. Terlambat menyadari kalau ia tidak diijinkan menggunakan kata-kata kasar selama berada di sekitar anak-anak panti. "Ya kalo Asin, Yoga sama Ijun pada telat, kita mau mulai apaan, orang ini acara buat Yoga???"

Jendra menghela napas. Menyadari kebodohan teman-temannya.

"Kadang gue heran kenapa masih aja mau temenan sama kalian-kalian ini," keluh Jendra sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya, berniat menghubungi salah satu di antara tim penjemput Yoga.

Namun, saat Jendra baru membuka kontak ponselnya, sebuah panggilan masuk membuat ponselnya berdering.

Jendra mendengus.

"Ijun nih." Katanya pada Seta, sambil menunjukan layar ponselnya. Seta nyengir.

"Speaker on, dong."

Jendra mengikuti keinginan Seta. Ia baru akan mengatakan sesuatu setelah menggulir opsi untuk menjawab panggilan tersebut dan menyalakan speaker ponselnya, ketika suara di seberang sana justru membuatnya tertegun.

"Bang Ajin..."

Itu suara Wira—yang biasa mereka panggil Asin. Dan selama Jendra mengenal Wira—hampir tiga atau empat tahun terakhir—ia belum pernah mendengar Wira sepanik barusan.

Refleks, Jendra menoleh pada Seta. Keduanya saling bertukar pandang bingung untuk sepersekian detik.

"Sin, kenap—"

"Aming... Kiara... Meninggal.... Kecelakaan... Yoga..."

Raut panik dengan segera menghiasi wajah Jendra dan Seta mendengar penuturan Wira yang berantakan.

"Sin—,"

"Bang, ini Ijun," suara di seberang berganti menjadi lebih jelas, meski masih menguarkan kadar panik yang sama. "Aming sama Kiara kecelakaan. Kiara meninggal. Yoga..." terdengar Juniar—atau yang lebih akrab disapa Ijun—menghela napas. "Kacau, Bang. Ke sini ya, Bang, buruan. Sama anak-anak. Rumah Sakit Awal Medika."

Seluruh tubuh Jendra melemas. Ia perlu waktu beberapa menit untuk mencerna kalimat Juniar barusan.

"Bang...?"

"Kiara... Meninggal?"

"Bang, nanti gue kabarin lagi. Aming kritis."

Telepon terputus.

Jendra mematung di sana sementara Seta tidak jauh berbeda. Suara tawa anak-anak di sekitar mereka seolah lenyap menjadi sayup. Menjauh. Seperti berasal dari dimensi lain.

Tidak akan ada perayaan ulang tahun.

Yang ada justru pemakaman,

Dan suasana berkabung.






🆙🆙🆙

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang