33,0; come clean

87 10 10
                                    

.

"Gimana, Dit?"

Gala menutup pintu di belakangnya perlahan, tidak ingin membangunkan seseorang yang tengah beristirahat di dalamnya. Ia lalu mengisyaratkan agar Angga mengikutinya, ke ruang tengah.

"Udah tenang," jawab Gala ketika mereka duduk di sofa. "Kemaren sempet histeris, terus susah istirahat semaleman. Tapi sekarang udah mendingan sih."

Napas Angga terhembus kasar. Perasaan bersalah menggelayutinya sekali lagi. Bagaimana pun, ini salahnya. Ialah yang menyebabkan semua ini terjadi. Ia dan seluruh prank bodohnya.

"Aku udah minta tolong temen yang ada kenalan psikiater gitu, besok mau dibawa konsul sekalian periksa yang bener," Gala melanjutkan, berupaya mengusir resah Angga. "Selama ini kayaknya penanganannya nggak serius."

Itu kalimat penghiburan, Angga tahu. Karenanya, ia tersenyum tipis. "Aku beneran pengen Yoga sembuh, Dit. Salahku banyak banget, belum kesampean minta maaf."

Satu tangan Gala menepuk bahu Angga, berusaha menyalurkan kekuatan. "Bang Yoga gitu-gitu orangnya tangguh, kok. Sembuh pasti," pemuda itu tersenyum pada sang kakak. Sebelum senyum itu perlahan memudar. "Tapi, Mas," katanya. "Aku nggak bilang ke ayahnya Bang Yoga soal ini. Kayaknya lebih baik beliau nggak usah tahu. Dia juga nggak pernah peduli sama anaknya."

Angga melirik sebentar, mengawasi ekspresi Gala. Bagaimana pun, Angga kenal cukup dekat dengan Om Danuㅡayah Yoga. Ia memang tidak bisa bilang bahwa lelaki itu adalah ayah yang baik. Tapi tuduhan langsung dari Gala barusan terdengar serius.

Dan mengingat bagaimana adik tirinya itu membenci ayah mereka, Angga memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa.

"Oke," putus Angga. "Kalo anak Big Wave gimana? Kasih tahu, jangan?"

Gala manggut-manggut di tempatnya. "Aku udah ngabarin Bang Ajin, sih. Biar nanti dia aja yang ngabarin yang lain."

"Oh, oke."

Setelahnya jeda. Keduanya disibukkan oleh pemikiran mereka masing-masing. Angga dengan terkaannya, dan Gala, dengan isi kepala yang serupa benang kusut.

"Makasih ya, Dit," cetus Angga tiba-tiba. "Kalo bukan karena kamu, mungkin masalah ini nggak akan pernah selesai."

Kalimat itu menerbitkan senyum di bibir Gala. Ia lalu menggeleng ringan. "Berterima kasih sama dirimu sendiri, Mas. Udah sekuat itu sampe berhasil nyelesaiin semua ini."

Angga tertawa kecil. Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Tapi sejak dulu, Angga tidak pernah enggan mengakui bahwa pada saat-saat tertentu, pemikiran Gala seringkali jauh lebih dewasa dibanding umurnya.

"Jadi gimana?" tanya Angga kemudian, setelah satu tarikan napas.

Kepala Gala tertoleh bingung. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum ia bersuara. "Gimana... apanya?"

"Masalahku udah selesai, Dit. Masalah Yoga juga hampir selesai. Tapi kamu, kenapa malah nambah masalah buat dirimu sendiri? Masalah yang nggak perlu, pula."

Kening Gala berkerut. Ekspresinya seolah sedang berusaha memahami kalimat Angga barusan. Namun, belum sempat ia menemukan jawaban, ia justru mendapati Angga mengulas senyum ke arahnya.

"At what cost kamu mutusin Rya?"

Tidak ada jawaban.

Pandangan Gala yang sebelumnya mengarah pada Angga, perlahan berpindah. Lelaki itu menunduk, menghindari sorot sang kakak yang hanya menanti konfirmasi. Gala melempar tatapannya kemana pun selain Angga. Sebelum akhirnya menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang