16,5; depreciation cost

90 12 16
                                    

.

"Thank you, ya, Man! Gue gak ngerti deh kalo ga ada lo."

Hilman mengangguk sopan seraya menerima uluran jabat tangan dari Bagas, seniornya di jurusan yang beberapa jam lalu menghubunginya secara mendadak dan memintanya mengisi vokal untuk live band di kafenya.

"Jangan lupa kasih nomor rekening ke staf gue, Man. Biar honornya cepet diurus. Paling lambat besok siang sih," kata Bagas lagi, memberi isyarat pada salah satu pegawainya agar bergerak mendekat. Senyum Hilman terkembang tanpa bisa dicegah. Setelah meninggalkan nomor rekeningnya dan berbasa-basi sedikit, ia memutuskan untuk segera pulang.

Tubuhnya lelah. Panggilan mendadak Bagas tadi sama sekali tidak direncanakan dan sungguh mengganggu jadwal istirahatnya. Namun, mana bisa Hilman menolak kesempatan seperti ini? Kesempatan yang bisa membantunya dan adik-adiknya di panti asuhan untuk menyambung hidup minimal satu bulan ke depan.

"Gue balik ya, Kak." pamit Hilman. Bagas mengangguk dan berterima kasih sekali lagi. Tidak lupa berpesan agar Hilman segera menghubunginya jika sampai besok siang honornya belum juga diterima.

Hilman sudah hampir mendorong pintu kafe ketika matanya menangkap sosok seseorang. Ada sebuah kebiasaan dalam dirinya yang tidak bisa dihentikan. Yang membuatnya refleks memanggil sosok itu bahkan sebelum otaknya mampu memroses dengan benar apa yang seharusnya ia lakukan.

"BANG Aㅡngga?"

Yang dipanggil menoleh dengan wajah datar.

Hilman menyadari kebodohannya. Sudah terlalu terlambat untuk sekadar berpura-pura dungu dan pergi meninggalkan kafe itu begitu saja. Jadi, dengan langkah gontai, lelaki itu terpaksa mendekat. Tidak menyadari betapa diam-diam alis Angga terangkat.

"Bang Aㅡngga ngapain di sini? Hehe," Hilman terkekeh canggung menyadari kesulitannya menyebut Angga dengan sebutan Aming seperti dulu. Keakraban itu sudah menguap. Memangnya siapa dirinya, memanggil Angga dengan panggilan yang mungkin saja selama ini tidak disukainya?

Sementara di hadapannya, Angga mendengus tertawa.

"Kita seasing itu ya, sekarang?"

Hilman mengerutkan kening. "Pardon?"

"Lo ngapain manggil gue?" Angga mengalihkan pembicaraan. Menempatkan Hilman dalam situasi yang semakin tidak bisa dihindari.

"Well," Hilman terlihat berpikir. "Habit?"

Hening.

Angga menatapnya sebentar dengan tatapan tidak bersahabat. Wajahnya mengeras, menyembunyikan kenyataan tentang apa yang sebenarnya tengah menjerit dalam kepalanya saat ini.

"Bener kata orang, Bang. You can hate the person, but not the memories. Gue gak ngerti, ini mungkin cuma gue. Tapi ya," Hilman mengalihkan pandangannya, diam-diam tersenyum sedih. "Gue gak suka musuhan sama lo di saat gue bahkan gak ngerti masalahnya apa."

Kalimat sederhana itu menohok perasaan Angga.

Di antara yang lain, Angga tahu betapa seringkali Hilman bersikap naif dengan pemikiran yang sangat sederhana. Hilman mungkin berisik dan menyebalkan. Namun, anak ini memiliki satu sisi yang tidak pernah memandang rumit suatu permasalahan.

Segala perang dingin ini tentu akan sulit bagi seseorang seperti Hilman.

Diam-diam, tangan Angga terkepal di sisi tubuhnya. Jika Hilman mengatakan ini beberapa waktu lalu, ketika semuanya masih lebih sederhana dan mudah, Angga mungkin akan dengan senang hati menyerah dan memunculkan sisi lemahnya. Tapi tidak hari ini. Setelah apa yang ia lalui sendirian, setelah segala ketakutan dan mimpi buruknya,

Tidak.

Angga tahu rasa benci hanya akan membuatnya kesepian.

Tapi ia bahkan sudah tidak peduli akan hal itu.

Jadi, meski ia tahu ia akan jauh lebih tertekan akibat rasa bersalah setelah ini, Angga tetap melakukannya. Memandang remeh Hilman sambil menyeringai.

"Lo masih inget konsep biaya depresiasi di akuntansi?" tanya Angga, menimbulkan sorot bingung di mata Hilman.

What's with this sudden accounting thing?

"Anggep aja semua ini kayak aset, Man. Yang nilainya lama-lama habis seiring waktu berjalan, karena emang masa manfaatnya udah abis," Angga berhenti sebentar, masih dengan senyum miring yang menyebalkan. "Terus apa? Asetnya masih ada, tapi udah nggak bernilai, kan? Kayak gitu gue mandang lo sama yang lain, sekarang. Masih ada, tapi udah gak ada nilainya buat gue."

Untuk sesaat keduanya hanya diam.

Hilman bahkan tidak bisa menyembunyikan ekspresi kecewa di wajahnya. Namun, ia berusaha tersenyum.

"Oke deh, Bang," katanya, sembari menghembuskan napas. "Tapi jangan lupa juga, kalo pada akhirnya, biaya depresiasi itu cuma konsep. Gak nyata. Gue duluan, Bang."

Dan Hilman melangkah dari sana, meninggalkan Angga yang termenung. Kalimat itu mengganggunya. Karena jika semua permusuhan ini hanya konsep yang tidak nyata, bolehkah Angga berharap ia masih akan diterima kembali?

Tidak.

Angga tersenyum sinis, menatap punggung Hilman yang mengecil di bawah lampu jalan.

Semuanya sudah terjadi. Sudah terlalu terlambat untuk bisa kembali.

Terlebih,

Ia sudah terlalu terluka untuk bisa kembali.









🆙🆙🆙

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang