16,0; who has it hardest?

91 10 19
                                    

.

Pintu pantry terbuka perlahan. Ruangan itu kosong. Membuat si pembuka pintu tadi menghela napas panjang, lega.

Baguslah. Pikirnya.

Ia memang membutuhkan suasana ini. Sepi. Dan sendirian. Sebentar saja.

Sosok lelaki itu melangkah ke meja pantry, berniat mencari gelas cangkir dan toples berisi bubuk kopi. Biasanya, ia lebih menyukai kopi instan. Tapi hari ini, ia butuh kafein yang lebih pekat.

Jadi, setelah mempersiapkan segalanya dan memanaskan air di teko elektrik,

Lelaki itu duduk menunggu, sambil melamun.

Terlalu banyak yang terjadi di hidupnya. Beberapa tahun lalu, ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak penghuni panti asuhan. Kerap menerima ejekan, atau tatapan kasihan. Ia tidak pernah benar-benar memahami perasaan memiliki keluarga. Ia tidak punya siapapun selain anak-anak yang bernasib sama dengannyaㅡteman-temannya di panti asuhan.

Sampai mereka datang.

Orang-orang menyebalkan yang tidak benar-benar bisa membuatnya kesal terlalu lama.

Orang-orang yang menawarkan kehangatan. Kekeluargaan. Orang-orang yang tanpa segan merangkulnya. Memberi bantuanㅡmemberi apapun, sampai dirinya sendiri mempertanyakan hal baik apa yang pernah ia lakukan hingga mendapat kesempatan bertemu orang-orang sebaik itu.

Iyan menghela napasnya, tersenyum pada dirinya sendiri, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

Radiyan Ditya.

Siapa dirinya? Sebelum bertemu Jendra dan yang lain, ia hanya seorang yang tidak benar-benar menghargai dirinya sendiri. Ia tidak tahu apakah nama Radiyan diberikan oleh orang tuanya, atau oleh pengurus panti yang menemukannya. Ia bahkan tidak tahu apakah ia ditemukan begitu saja, atau sengaja dititipkan secara langsung di sanaㅡIyan tidak tahu. Tepatnya, tidak pernah memiliki minat untuk tahu.

Baginya, panti asuhan tempat tinggalnya terasa seperti rumah dan penjara di saat bersamaan. Menyimpan terlalu banyak suka dan luka yang tidak terpisahkan. Ketika ia akhirnya bertemu Jendra dan teman-temannya, Iyan baru merasakan arti rumah yang sesungguhnya. Keluarga.

Tapi sekarang, rumah itu mungkin sudah hancur. Lebur. Rata dengan tanah.

Tangan Iyan tergerak membuka aplikasi chat di ponselnya. Ia mencari satu kontak dan membuka chatroom.

Anggara Satryaindra.

Orang baik yang dulu membantunya mengejar ketertinggalan materi ujian seleksi masuk perguruan tinggi.

Orang baik yang dulu sering ia jahili karena terlalu saklek pada banyak hal.

Orang baik yang pintu rumahnya selalu terbuka untuknya setiap kali Iyan sedang tidak ingin ada di panti.

Orang baik.

Dulu.

Sekali lagi, Iyan menghela napas. Anggara Satryaindra yang dikenalnya memang orang sebaik itu. Meski terkesan dingin dan sombong di awal perkenalan, Iyan tahu dengan segera bahwa Angga yang sebenarnya adalah pribadi yang hangat.

Ya. Iyan tahu.

Ia hanya tidak mengerti mengapa sekarang sosok itu berubah menjadi orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Jemari Iyan kemudian bergerak mengetikkan sesuatu di ponselnya. Tanpa ragu menekan tombol kirim kemudian meletakkan benda itu di meja pantry. Bersamaan dengan suara teko elektrik yang selesai mendidihkan air.

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang