32,0; chit-chat

60 11 6
                                    

.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan satu luka batin?

Gala tidak tahu.

Tapi yang ia tahu, sesuatu harus dilakukan. Upaya penyembuhan. Satu jalur harus ditempuh sebagai bentuk usaha. Tidak peduli seberapa besar risiko yang mungkin ditanggungnya.

"Hei,"

Sapaan itu disambut angin. Tidak ada yang menyahut. Sosok yang terduduk di tempat tidur itu pun tidak bergerak. Gala melangkah maju, mendekat. Sampai ketika ia tiba di sisi tempat tidur, lelaki itu menghela dalam.

"What a rough days, ya, Bang?" Satu senyum tersimpul tipis di bibir Gala, meski masih tidak ada yang menanggapinya. "Sori, gue nggak ada waktu itu, jadi di sini mesti ada ribut-ribut," ia berhenti sebentar. Suaranya mengecil ketika ia melanjutkan, "padahal nggak perlu."

Memori Gala berkelana tanpa diminta. Memutar kilas kejadian beberapa hari ke belakang. Tentang Angga, tentang Wira dan teman-temannya, tentang Rya...

"Bang," ia bersuara lagi. "Semuanya udah selesai. Udah waktunya penderitaan lo juga selesai."

Kalimat itu tulus. Ada masa di mana Gala sangat membenci sosok di hadapannya ini. Tapi tidak lagi. Semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi si penjahat di antara mereka. Tidak dirinya, tidak pula Yoga, yang kini perlahan menoleh padanya.

Satu gerakan itu membuat senyum Gala tercetak lebih jelas.

"It's wrong to say that you put on an act all this time being mentally ill, gue tahu. But we both know you're not totally lost too."

Tatapan keduanya bertemu. Sejak lama, Gala sering kali tidak mengerti apa-apa yang tersorot dari sepasang mata kakak tirinya itu. Pun hari ini. Mata itu membuatnya bertanya-tanya. Rasanya seperti mereka merasakan kesakitan yang sama. Namun, juga menyimpan sebuah rahasia.

"It's time for you to come clean too, Bang Yoga," Gala memperjelas maksudnya. "Karena orang yang lo yakini sebagai penjahat dan bikin lo trauma itu sebenernya nggak salah apa-apa."

Sepasang mata Yoga membesar perlahan. Pupilnya bergerak acak, seolah terguncang. Diam-diam, Gala mengembuskan napas lelah, lalu mengalihkan pandang. Sebelah tangannya merogoh saku celana panjangnya, mengeluarkan ponselnya dari sana. Benda yang sama yang ia jadikan alat bukti di depan anak-anak Big Wave beberapa hari lalu.

"Gue tahu soal lo sama Rya," Gala mengonfrontasi sekali lagi. "Gue tahu lo punya niat apa sama dia. Tapi dia bukan Kiara, Bangㅡand no, don't freak out. It's just a name."

Pernyataan itu menyulut sesuatu dalam diri Yoga.

Karena bagi Yoga, Kiara bukan hanya sebuah nama. Kiara Elleana sudah seperti satu kisah panjang penuh luka. Serupa keping memori berharga, sebuah bagian terbesar dari kehidupan Yoga.

Dan teringat pada apa yang menimpa gadis itu setiap kali mendengar namanya disebut, adalah sesuatu yang tidak bisa Yoga hindari.

"L-loㅡ"

Samar, sebelah alis Gala terangkat kala mengetahui caranya berhasil. Semua konfrontasi ini rupanya mampu mengumpulkan kesadaran Yoga dan membawanya untuk berkomunikasi. Merasa sedikit lebih percaya diri, Gala beringsut mendekat. Tangannya memilih opsi putar di layar ponselnya, lalu meletakkan benda persegi itu di nakas, dekat dengan Yoga.

Episode pengakuan yang direkam Gala hari itu kembali mengalun memenuhi ruangan. Memperdengarkan satu bagian yang sudah lama hilang, yang selama ini menimbulkan kesalahpahaman. Gala sudah mengalihkan pandang. Matanya memejam. Didengar berapa kali pun, suara Angga di hari itu terdengar terlalu menyakitkan. Tapi Gala sudah cukup mempelajari hidup untuk tahu, bahwa kadang, hal-hal yang paling menyakitkan justru yang memberi begitu banyak pelajaran.

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang