15,0; things untold

108 15 28
                                    

.

"Yaudah, chat aja butuh apaan." Juniar berkata terburu sambil menjepit ponsel di antara bahu dan telinganya. Kedua tangannya membandingkan dua produk pasta gigi untuk mencari yang paling murah. Isi kepalanya sibuk menghitung, tidak mendengar makian di telinganya.

"Woy, Ijun!"

Juniar tersentak. Ia meletakkan kembali salah satu dari pasta gigi di tangannya, memasukkan satu yang lain ke keranjang belanja, lalu memegang kembali ponsel di telinganya. "Apa sih?"

"Lo denger gak?"

Ia menghela napas. "Nggak. Kan gue bilang chat aja."

Terdengar gerutuan kesal di telinganya.

"Chat aja, Chandra sayang. Kamu mau nitip apa aja, pasti aku beliin. Tapi nggak usah bising kayak gini, aku pusingㅡ"

Telepon ditutup.

Juniar terkikik sendiri sebelum memasukkan ponselnya ke keranjang belanja. Selanjutnya, ia melangkah meninggalkan area pasta gigi sambil berpikir kebutuhan apa lagi yang diperlukan.

Tidak lama, ponsel Juniar bergetar. Sebuah notifikasi pop-up chat dari kontak dengan nama Chandra bertengger di layarnya. Membuat Juniar mendengus tertawa.

Juniar masih tinggal satu kontrakan dengan Chandraㅡdan Seta, bahkan setelah mereka semua resmi diwisuda beberapa bulan yang lalu. Bagi Juniar, menemukan teman tinggal bersama memang tidak mudah. Ia pernah pindah kos dua kaliㅡkarena tidak nyaman dengan lingkungan serta teman-teman satu kosnyaㅡsebelum akhirnya memutuskan untuk menempati rumah kontrak bersama Chandra dan Seta.

Sebagai penghuni kontrakan yang lumayan menganggur,ㅡJuniar lebih memilih pekerjaan freelance daripada harus menjadi budak korporat seperti Seta, sedangkan Chandra lumayan sibuk mengurusi bisnis keluarganyaㅡia seringkali dimintai tolong untuk belanja bulanan ketika keperluan rumah sudah habis, seperti sekarang. Tidak masalah untuk Juniar. Ia tidak pernah keberatan jika harus berkelana sendirian.

Setelah meneliti daftar titipan Chandra, Juniar memandang berkeliling, berusaha mengingat arah yang tepat agar bisa segera sampai ke tempat tujuannya. Ia baru berpindah dua langkah ketika tiba-tiba,

"Kak Ijun!"

Tubuh Juniar membeku mendengar panggilan itu. Langkahnya sontak terhenti dengan gerakan kaku. Ia tidak menoleh, namun sudah terlalu terlambat untuk meneruskan langkah dan berpura-pura tidak mendengar.

"Kak Ijun!" kali ini Juniar merasakan pundaknya ditepuk. "Sendirian, tumben?"

Juniar menoleh, menemukan Rya tengah menatapnya antusias. Juniar menghela napas. "Apa?"

Rya mengerjap, memundurkan tubuhnya sedikit, seolah kehilangan antusiasme. "Eh, itu," gagapnya. "Kebetulan ketemu, gak sengaja liat. Pengen nyapa aja..."

Jeda sesaat. Keduanya saling menatap sampai Juniar memutus kontak dengan mengalihkan pandang lalu memejamkan matanya. Sebentar. Setelahnya ia kembali memandang Rya.

"Hm," gumamnya singkat.

Bahu Rya menurun. Ia tahu Juniar adalah satu yang terasa paling sulit untuk didekati di antara anak-anak Big Wave yang lain. Jika di awal pertemuan dulu, Wira, Chandra dan Juniar-lah yang selalu memandangnya dengan tatapan aneh seolah dirinya adalah alien, sampai sekarang tinggal Juniar yang masih melakukannya.

Apa mungkin karena ia mirip dengan Kiaraㅡseperti yang dikatakan Angga?

Sejenak, keduanya terpaku di tempat masing-masing. Rya tidak tahu betapa tangan Juniar terkepal di sisinya demi menahan sesuatu yang entah apa.

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang