25,0; a start

75 10 7
                                    

.

Iyan menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati, berusaha menimbulkan seminimal mungkin suara. Ia lalu melangkah menuju kamar mandi yang terletak di belakang, dekat dapur. Langkahnya terhenti ketika menemukan pintu kamar mandi baru saja dibuka, memunculkan sosok Hilman dari dalam.

"Lah," Hilman mengacungkan telunjuknya. "Dari manaㅡ"

"Minggir dulu, minggir!" sentak Iyan, setengah bercanda, buru-buru menggeser tubuh Hilman dari hadapannya, untuk kemudian bergegas memasuki kamar mandi.

"Ye, kambing!"

Terdengar gelak tawa Iyan seiring pintu kamar mandi yang ditutup dan dikunci dari dalam. Setelahnya, yang tersisa hanya suara percik air. Namun, bukannya meninggalkan Iyan untuk menyelesaikan urusannya dengan khidmat, Hilman justru bersandar di dinding sebelah pintu kamar mandi.

"Yan," panggilnya.

"Oi."

Hilman terkikik. "Konsen dulu, Yan. Malah nyaut lo."

Ganti Iyan yang tertawa dari dalam. Tidak ada percakapan lanjutan sampai pintu akhirnya terbuka dan Iyan keluar dari dalam. "Ya, lo ngapain ngajak ngomong?"

"Hehe," Hilman terkekeh. "Dari mana lo? Baru keliatan."

"Dari kamar Gilang," Iyan menyebut satu nama adik mereka sambil berjalan meninggalkan area dapur, diikuti Hilman. "Tadi dia minta bantuin ngerjain PR. Lagi gue ajarin, malah ketiduran bocahnya."

Hilman mengangguk maklum setelah menyuarakan "Oh." pelan sebagai respon.

Keduanya lalu duduk di ruang tengah. Ruangan itu biasanya akan ramai di malam hari, ketika seluruh penghuni panti berada di sana untuk sekadar saling bercengkrama atau mengerjakan tugas sekolah bersama. Di siang menjelang sore hari seperti saat ini, ruangan itu sepi.

"Man," Iyan tiba-tiba membuka suara. "Ke Bang Yoga, yuk?" lelaki itu menoleh pada kawannya, menemukan wajah Himan yang lengkap dengan ekspresi terkejut. Membuat Iyan mengernyit.

"Kenapa dah?"

"Yan," Hilman menggelengkan kepalanya, terlihat takjub. "Gue baru aja mau ngomong hal yang sama?"

"Ngarang!"

"Serius, anjer!"

Wajah Hilman terlalu serius, membuat Iyan nyaris gagal menahan tawa. Lelaki itu lalu mengibaskan tangan.

"Iya, iya, percaya," ujarnya. "Sekarang nih?"

Hilman mengangguk mantap. "Soalnya, nggak tahu, ya. Gue kepikiran aja kemaren, pas tahu Bang Gala lagi opname. Lah, terus Bang Yoga gimana..."

Dari ekor matanya, Iyan berusaha mencari raut Hilman. Ia mengenal Hilman sejak lama sekali. Sepanjang ingatan yang bisa Iyan gali dari memorinya, ia sudah menemukan Hilman membersamai harinya. Mereka bertukar suka dan berbagi duka selama hampir seumur hidup mereka. Karenanya, Iyan segera tahu, bahwa kawan di depannya ini tidak sedang bercanda.

Mereka memang memikirkan hal yang sama.

"Iya, gue juga kepikiran gitu," balas Iyan, sambil merenung. "Yaudah, ayo? Mumpung belom sore."

Hilman segera berdiri dari duduknya, berniat bersiap. Meski lebih sering menjadikan Iyan sebagai rekan pertengkaran, Hilman tidak akan menolak untuk menobatkan sahabatnya itu sebagai orang terpenting dalam hidupnya. Ada banyak masa di hari-hari belakangan, di mana Hilman merasa kehilanganㅡdengan segala kesibukan masing-masing yang membuat mereka terpisah, juga kewajiban individual yang menyebabkan intensitas pertemuan mereka melemah. Namun, hari ini, mengetahui fakta bahwa dirinya masih berbagi cara pikir yang sama dengan Iyan, entah kenapa membuat Hilman bersemangat.

Rasanya melegakan, seperti ia memang tidak pernah kehilangan siapa-siapa.

Tentu saja, Hilman tidak akan memberi tahu siapapunㅡapalagi Iyanㅡtentang semua ini.






🆙🆙🆙







"Kapan, ya, Man, Bang Yoga balik kayak dulu?"

Pertanyaan retoris itu menemani langkah santai Hilman dan Iyan menuju rumah Yoga. Keduanya baru beberapa langkah meninggalkan halte, ketika Iyan tiba-tiba menyuarakan pikirannya. Hilman menoleh, memandangi sosok Iyan dari samping. Tidak menjawab, karena memang tidak memiliki jawaban. Lelaki itu hanya berakhir menghela napasnya.

"Ya nggak tahu, Yan," pandangan Hilman menerawang. "Kadang gue juga kepikiran, kangen nyanyi bareng Bang Yoga."

Hilman tersenyum tipis ketika mengatakannya. Tidak menyadari kerlingan mata Iyan yang hanya sekilas. Setelahnya, Iyan tertawa pelan. Sebuah tawa lelah.

"Pernah kebayang nggak, Man, kalo Big Wave jadi bersepuluh? Tambah Bang Gala."

Gagasan itu terlontar begitu saja, tidak berdasar. Namun, mampu membuat baik Hilman maupun Iyan memikirkan kemungkinan, mempertanyakan peluang. Senyum keduanya terbit, tanpa bisa dicegah. Pemikiran itu terasa menyenangkan.

Mungkin, terlalu menyenangkan untuk bisa diwujudkan.

"Bang Aming..." Nama itu akhirnya terucap. Menggantung bersama senyap yang menyusul setelahnya. Hilman memutuskan untuk tidak melanjutkan apapun yang tadinya ingin ia katakan. Ia tidak pernah mau menjelekkan siapapun di antara ketujuh abangnya, dan ia tahu, Iyan juga berpikiran sama.

Karenanya, Hilman memahami senyum getir yang ia temui di wajah Iyan ketika ia akhirnya menoleh.

"Udahlah," Hilman menepuk bahu sobatnya itu. "Whatever will be, will be."

Dan meskipun tidak mengatakan apa-apa, Iyan menyetujui kalimat itu sepenuhnya. Keduanya melanjutkan langkah dalam hening, lalu berbelok di ujung gang. Mata Iyan memicing kemudian, meneliti sesosok manusia yang berjalan beberapa meter di depan mereka. Tangannya lalu memukul-mukul lengan Hilmanㅡterlalu bersemangat.

"Bang Ijun bukan, sih?"

Pertanyaan itu membuat Hilman menelan kembali semua makian yang hampir ia lontarkan. Pandangannya mengikuti arah yang ditunjukkan Iyan. Lalu, tanpa berpikir dua kali, Hilman berteriak sekuat suaranya,

"BANG IJUN!"

Pemuda jangkung di depan mereka menghentikan langkah, perlahan menoleh. Wajahnya gusarㅡekspresi yang segera luntur ketika Hilman dan Iyan bergegas mendekat, setengah berlari. Semringah kedua adiknya itu rupanya menular pada Juniar. Terbukti, lelaki itu melepas tawa setelah Hilman dan Iyan sampai di hadapannya.

"Ngapain, Bang?" tanya Iyan.

"Mau ke Yoga," jawab Juniar, tangannya menunjuk arah rumah Yoga yang memang hanya tinggal beberapa rumah lagi. "Kalian juga?"

Iyan mengangguk bersemangat. "Gila, kebetulan banget padahal nggak janjian?"

Juniar tersenyum tipis. "Gue pengen mampir aja sih, mumpung job lagi lowong. Kasian juga si Yoga sendirian, Gala kan lagi nggak ada. Si Chandra sama Asin juga katanya mau nyusul."

Sudah.

Kalimat itu sudah tercerna sepenuhnya oleh Iyan, juga Hilman. Iyan yang pertama bereaksi. Lelaki termuda di Big Wave itu tersenyum sambil kemudian melebarkan tangannya, merangkul bahu Juniar dan Hilman di kanan-kirinyaㅡmeski jelas, ia sedikit kesulitan merangkul Juniar karena perbedaan tinggi mereka. Setelahnya, Iyan mengarahkan mereka untuk kembali melanjutkan langkah.

"Ngapain sih, Yan?" protes Juniar, yang langkahnya miring akibat rangkulan Iyan.

Yang ditanya hanya memamerkan cengiran. Cengiran lebar yang bahkan tak ingin Hilman artikan. Namun, Iyan tidak peduli. Hari ini terlalu baik untuk dilalui dengan argumentasi.

Bagi Iyan, mengetahui bahwa sebagian dari mereka masih memiliki pemikiran yang samaㅡdan masih begitu memikirkan satu sama lain, membuatnya tahu, tidak pernah ada yang salah dengan Big Wave.

Lingkaran pertemanan ini masih merupakan hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidup Iyan.

Dan Big Wave masih menjadi alasan bagi Radiyan Ditya untuk bersyukur setiap hari.







🆙🆙🆙

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang