30,0; grain of salt

77 11 21
                                    

.

Seumur hidupnya, Wirawan Sinadi tidak pernah mengalami kesulitan dalam mengambil sikap. Ia tegas, lugas, dan berpegang teguh pada apa yang ia yakini benar. Berbeda dengan Yoga yang membutuhkan waktu untuk memutuskan sesuatu, atau Jendra yang cenderung memikirkan perasaan orang lain sebelum bertindak, Wira membuat keputusan tanpa banyak berpikir dan dengan mengesampingkan perasaan. Baginya, yang benar adalah benar, meski itu melukai orang lain.

Selama ini, meski sering dicibir oleh orang-orang sekitarnya, Wira tidak terlalu peduli. Karena ia hampir selalu benar. Keputusannya berdasar. Tindakannya tidak merugikan.

Tapi kali ini,

Bagaimana pun ia berusaha memikirkan,

Sesuatu tetap terasa mengganjal, membuatnya tidak tenang.

"Udah bangun, Bang?"

Suara Iyan membuat Wira menoleh ke pintu. Semalam, ia memutuskan untuk bermalam di panti asuhan, bersama Iyan dan Hilman. Mereka tidak membicarakan apapun setelah malam yang panjang dan melelahkan itu. Tapi setelah semuanya, berada sendirian di rumahㅡditemani pikirannya sendiriㅡterdengar seperti sesuatu yang mengerikan bagi Wira. Karenanya, ia memilih untuk mempersenjatai dirinya dengan kawan. Hanya agar ia tidak sendirian.

Wira mengangguk, menjawab tanya Iyan.

"Baikan?" Iyan bertanya lagi, sembari duduk di pinggir tempat tidur, tepat di samping Wira.

"Apanya?" Wira bertanya balik, dengan kerut di keningnya.

Bukannya lekas menjawab, Iyan justru tersenyum simpul. Pandangannya mengarah pada Wira, sorotnya penuh arti. "Perasaan lo, Bang."

Memburuk, Yan.

Tentu saja, itu hanya Wira suarakan dalam kepalanya. Setelahnya, lelaki itu menghela napas lelah. Lalu bertanya,

"Gue bego ya, Yan?"

"Cuma kurang bijak aja, Bang."

"Sialan."

Iyan tertawa kecil. Keduanya kemudian terdiam, dalam hening.

"Tapi, Bang," Iyan bersuara lagi. "Bang Asin yang gue kenal orangnya gentle. Kalo salah, dia selalu ngaku salah, without making excuses, terus minta maaf. Dan sikap keren itu yang selalu pengen gue tiru dari lo."

Kepala Wira tertoleh ke samping, memandang Iyan di sisinyaㅡyang justru sedang menatap dinding di depan mereka. Perasaan Wira menghangat. Sedikit beban di hatinya terasa terangkat.

"Belom terlambat, Bang," ujar Iyan, pelan.

Wira mendengus tertawa.

"Nggak tahu, Yan," ia mengangkat bahu. "It's been a whole freakin' year. Dan kadang, Aming sama keras kepalanya sama gue."




🆙🆙🆙




Langkah Wira tidak selebar biasanya, pun posturnya yang tidak setegap seharusnya. Lelaki itu seolah sedang mengulur waktu, berusaha memperpanjang masa yang ia punya. Koridor rumah sakit yang dilalui orang-orang silih berganti, terasa sepi bagi Wira. Tangannya dingin. Wira mulai bertanya-tanya apakah suhu di rumah sakit selalu sedingin ini.

Hingga ketika ia mencapai satu pintu yang ia tuju, butuh lima menit penuh bagi Wira untuk meyakinkan diri, sebelum mendorong terbuka pintu di hadapannya.

Kamar itu sunyi.

Kecuali sosok Angga yang tengah berbaring di ranjang dan mendadak menoleh padanya, tidak ada orang lain di sana. Wira meringis. Bimbang memutuskan apakah harus bersyukur atau merutuki situasi ini.

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang