28,0; time needed to heal

109 13 16
                                    

.

Tidak ada suara.

Selain tarikan napas berat Angga, dalam mobil itu tidak ada suara. Gala tidak berniat menginterupsi, bahkan ketika melihat Angga menyembunyikan wajahnya dengan menelungkup di setirㅡmenahan isakan. Yang dilakukan lelaki itu hanya mengulurkan tangan demi mengusap bahu kakaknya. Pelan, seolah berusaha memberikan kekuatan, berusaha merangkul dan memberitahu,

Bahwa Angga tidak sendirian.

Ada dirinya di sini.

"Aku nggak tahu, Dit, kalo waktu terima telepon itu, Yoga lagi bareng Asin sama Ijun," suara Angga terdengar serak. "Dan aku nggak tahu kalo mereka bakal sepercaya itu soal akuㅡ"

Angga berhenti, membiarkan ucapannya menggantung dalam senyap yang menyusul setelahnya. Ia sudah menahan segalanya sendirian untuk waktu yang terlalu lama. Ternyata, mencoba mengingat semuanya lagi, tidak semudah yang ia kira. Semua pertanyaannya sendiri, yang tidak bisaㅡdan tidak mungkinㅡia tanyakan pada siapapun, kini menguap kembali ke udara. Serupa baru terjadi.

Kemudian, sebuah prasangkaㅡyang terasa bagai jawaban, mulai bersarang dalam kepalanya. Membuat Angga mendengus tertawa.

"Jelas aja, ya. Siapa yang nggak percaya kalo abis itu Kia beneran mati." Suara Angga terdengar getir.

Kembali sunyi setelahnya.

Gala memilih diam, mencerna baik-baik apa-apa saja yang baru didengarnya. Sebuah episode yang hilang, pecahan yang baru terungkapㅡyang selama ini menjadi sumber pertanyaan Gala.

Ia serius soal niatnya membantu Yoga. Tapi saat Gala mengetahui bahwa yang dituduh sebagai antagonis oleh teman-teman Yoga adalah Anggaㅡkakaknya sendiri, ia memilih untuk ikut campur sedikit lebih dalam.

Dan setelah mendengar semuanya malam ini, maka benarlah dugaan Gala,

Bahwa yang harus sembuh bukan hanya Yoga. Tapi juga sosok lelaki yang kini mengerdil di hadapannya.

"Mas," ucap Gala, setelah satu tarikan napas. "Aku punya banyak pertanyaan, but let's leave those aside for now. Pertanyaanku cuma satu, kenapa Mas Indra nggak pernah berusaha ngejelasin atau membela diri sejak awal? Kalau aja Mas Indra nggak menerima gitu aja tuduhan mereka semua, mungkin..." Gala berhenti, demi memelankan suaranya ketika melanjutkan, "...mungkin semuanya nggak bakal jadi seburuk sekarang."

Jeda lagi.

Hanya terdengar usaha Angga menetralkan emosi, menghilangkan lendir yang menghalangi jalan napasnya. Lelaki itu kemudian mengangkat kepala, bertemu pandang dengan Gala.

"Hal pertama yang aku inget waktu sadar," Angga mengalihkan pandang. "Itu kalimat ngawurku soal mati."

Ada nada berat, desah pelan. Sesuatu yang tidak mudah dipahami. Sesuatu yang belum Gala pahami. Menyadari tanda tanya di mata Gala, Angga melanjutkan,

"Aku takut kalo sebenernya aku emang sejahat yang mereka bilang, Dit," katanya, dengan suara bergetar. "Soal mati itu, harusnya nggak ada di skenario. Kia aja kaget waktu aku ngomong gitu. Maksudku... Apa tanpa sadar, aku emang punya pikiran sejahat itu?"

"Mas..."

"Terus setelah aku sadar, semua omongan jahat, tuduhan, semuanya," Angga menengadahkan kepala, menatap nanar pada cahaya lampu penerangan basement di luar sana. "Semua itu bikin aku ketakutan, Dit. Takut kalo mungkin yang mereka bilang itu bener. Aku emang penjahat, pembunuh..."

"Mas, nggak, Mas," sentak Gala terburu. "Mas Indra orang baik. Semua orang bilang gituㅡ"

"Sebelum Kia meninggal, kan?" potong Angga. Senyum miris terpeta di wajahnya.

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang