8,0; who?

121 16 21
                                    

.

"Anjㅡ!"

Suara tawa menguar setelah sebuah teriakan yang tidak selesai, disusul derap langkah kaki yang berlari.

"Yan, balik sini mati lo!" umpat Wira. Iyan baru saja menepuk tengkuk Wira dengan tangan yang berlumuran sisa cat, membuat area leher hingga kaos yang dikenakan pemuda itu ternodai warna biru gelap.

"Yan, daripada nganggur mending bantuin Seta beresin barang di dalem," saran Jendra, berusaha menyembunyikan kesal. Iyan mencibir.

"Katanya udah ada Bang Chandra sama Hilman???"

"Yaudah, jangan iseng."

"Gue gak ngapa-ngapain tuh???"

"Tai." maki Wira. Sekali lagi, Iyan terpingkal.

Ini hari Sabtu. Waktu di mana para karyawan seperti Jendra dan Setaㅡplus Iyanㅡmemiliki ruang untuk bernapas. Di mana para mahasiswa tersangkut skripsi seperti Wira memiliki kesempatan berkontemplasi. Dan manusia sibuk seperti Juniar, Chandra dan Hilman memiliki waktu beristirahat.

Namun, ketujuhnya justru sepakat mengesampingkan urusan pribadi masing-masing dan meluangkan waktu untuk membenahi basecamp Big Wave.

Tempat itu memang sudah sedikit lusuh dan terlalu berantakan. Setelah Jendra dan Seta mendapat pekerjaan, dan sebagian besar yang lain mencapai tahun terakhir mereka di perkuliahan, intensitas pertemuan mereka memang berkurang. Ditambah segala masalah yang terjadi, membuat basecamp mereka semakin jarang ditempati.

"Bang, ini mau dibuang kemana?" Gala muncul dari dalam, sambil menenteng trash bag yang lumayan penuh.

"LOH ADA BANG GALA???" Iyan berseru heboh, sementara Gala tersenyum tipis. Si bungsu itu memang baru saja datang. Tadi pagi, ia harus ke kampus demi menyerahkan laporan magang mingguannya. Setelah sampai di basecamp, Wira langsung menariknya sebagai asisten untuk mengecat bagian depan ruko, jadi ia belum sempat bertemu Gala.

Pada akhirnya, Gala menjadi lebih akrab dengan mereka. Tidak benar-benar bergabung, hanya beberapa kali diajak turut saat mereka mengadakan acara. Dan dengan cepat, setiap dari mereka bisa menerima keberadaan adik tiri Yoga itu.

"Buset, itu isinya apaan aja, Gal?" Jendra menatap heran trash bag di tangan Gala. Yang ditanya hanya tertawa.

"Dasar sampah masyarakat. Basecamp sepetak aja sampahnya se-trash bag penuh." komentar Wira tanpa menoleh, ia masih sibuk mengecat satu sisi dinding.

"Tolong berkaca, siapa di sini yang belum lulus-lulus, pengangguran, dan masih jadi beban negara?" sahut Jendra, santai.

Wira mendelik sambil misuh-misuh, Iyan terkikik.

Tidak akan ada di antara mereka yang sakit hati hanya karena ucapan pedas seorang Wirawan Sinadi. Sudah biasa.

Ya, selain asin, Wira juga pedas.

"Di tempat pembuangan sampah belakang aja, Gal," Jendra mengembalikan atensinya pada Gala. Lalu menoleh ke Iyan. "Yan, anterin."

"Siap, Bang!" Iyan berseru semangat sambil melakukan gerakan hormat. Setelahnya, anak itu menunjukkan arah dengan tangan agar Gala mengikutinya. Membuat Jendra geleng-geleng kepala.

Kadang, ia bertanya-tanya kapan Radiyan Ditya akan bisa bersikap dewasa.

"Jin," Seta tiba-tiba keluar. Jendra menoleh. "Mau disimpen apa dibuang?"

Mata Jendra terpaku pada benda di tangan Seta. Sebuah pigura yang membingkai karton putih. Karton itu ditempeli stiker Big Wave, lalu dibubuhi tanda tangan mereka bersembilan. Di pojok kanan bawahnya, ditempel foto mereka, dalam ukuran 6x9, bersembilan.

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang