20,0; grave doubt

85 14 10
                                    

.

Entah bagaimana, waktu berjalan lebih cepat ketika kita memiliki kesibukan. Ada hari di mana semuanya mendadak terlewati, seolah kita tidak benar-benar sadar ketika menjalaninya.

Iyan mengalami itu. Hari-harinya berlalu cukup cepat. Hingga sebelum ia sempat menyadari, masa magangnya di kantor sudah mencapai minggu terakhir.

"Bang," panggilnya pada Jendra, sore itu. Ketika keduanya tengah bersiap meninggalkan kantor. "Temenin mampir ke Bang Yoga dulu, mau gak?"

Jendra mengernyit mendengar tawaran yang tiba-tiba itu.

"Tumben?" tanyanya, sambil meraih jaketnya dari sandaran kursi. "Ada apaan?"

Iyan nyengir. Ia tidak langsung menjawab. Keduanya lalu berjalan bersisian, menuju lift yang masih berada beberapa lantai di atas.

"Pengen mampir aja. Kangen Bang Yoga," ucap Iyan pelan, dengan senyum tipis di wajahnya. "Udah lama nggak jengukin. Sibuk mulu kita."

Jendra terdiam. Iyan ada benarnya. Jika semuanya dalam keadaan baik-baik saja, mungkin kenyataan itu tidak akan terlalu mengganggu Jendra. Sejak dulu, mereka selalu bisa saling memahami kesibukan satu sama lain. Setiap orang memiliki kehidupan masing-masing, dan memiliki hal-hal pribadi untuk diurus secara personal.

Tapi, dengan kenyataan bahwa saat ini Yoga sakit, sedikit banyak Jendra merasa bersalah karena tidak menyisihkan waktu untuk sekadar menjenguk.

"Kalo Bang Ajin nggak bisa, gak pa-pa. Gue sendiri aja. Di sana juga paling ada Bang Gala kan," ujar Iyan, bersamaan dengan denting lift yang terdengar. Benda itu perlahan membuka di hadapan mereka, memberi jalan bagi keduanya untuk masuk.

Lagi, Jendra masih diam. Ia memikirkan beberapa hal. Termasuk fakta bahwa tubuhnya lelah. Belakangan ini, pekerjaannya memang sedang banyak. Ia mengambil lembur beberapa hari ke belakang. Hari ini, Jendra baru saja berniat beristirahat.

Tapi, bagi seorang Ajendra, akan selalu ada masa di mana kepentingan teman-temannya lebih penting, bahkan dari nyawanya sendiri.

Dan saat ini adalah salah satu masa itu.

"Gue ikut deh," putus Jendra, ketika lift mereka mulai bergerak turun. "Lo bener juga, Yan. Udah lama nggak nengokin Yoga."

Iyan tersenyum tipis. Abangnya yang satu ini memang seperti itu.

"Oke." sahut Iyan, singkat.

Keduanya lalu bersisian dalam hening hingga melangkah meninggalkan gedung. Diam-diam, Iyan melirik Jendra melalui ekor matanya. Menghargai betapa Jendra berusaha menghapus raut lelah yang tadi terpeta jelas di wajahnya.






🆙🆙🆙






"Loh, pada mampir kok nggak bilang dulu?" sambut Gala sambil membuka pagar rumahnya, sedikit terkejut dengan kunjungan yang tiba-tiba.

Iyan memasang cengiran cerianya yang biasa, sementara Jendra tersenyum simpul.

"Kenapa? Nggak boleh mampir kalo gak bilang dulu?" sergah Jendra, dengan nada dibuat serius.

"Ya nggak gitu, Bang. Kaget aja." kilah Gala. Jendra tertawa.

Keduanya mengekor Gala memasuki pagar menuju teras.

"Bang Yoga apa kabar, Bang?" tanya Iyan sembari melepas sebelah sepatunya. "Weh, lagi ada Kak Rya juga?"

Jendra sontak mengikuti arah pandang Iyan, sedetik kemudian memahami kenapa Iyan beranggapan demikian. Di lantai undakan teras, sepasang flat shoes wanita terletak rapi, persis di sebelah sepatu Iyan.

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang