5,0; still, big wave

196 20 27
                                    

.

"Sin, skripsi udah sampe mana?"

"Bang, jangan kayak tai lah, ini perasaan tadi agenda ngumpul bukan mau bahas skripsi gua????"

Seisi ruangan tertawa mendengar gerutuan Wira. Seta, si penanya, hanya tertawa kalem dengan ekspresi meledek ke arah Wira.

Di antara mereka semua, Seta memang orang pertama yang berhasil menyelesaikan sidang skripsi. Bahkan, Jendra, yang kelihatan paling teladan itu, perlu mengulang sidang skripsinya di termin kedua.

Agga Seta Kuniandra ini memang hokinya kelewatan, semua orang juga heran.

"Mau ngomongin apa dah?" tanya Iyan, dengan nada mengeluh. Semenjak magang, anak itu memang terbiasa langsung pulang setelah jam kantor selesai. Tipe-tipe anak kecil yang belum siap menjadi budak korporat, kata Seta.

"Iya, mau ngomongin apaan?" Juniar ikut bersuara. Berbeda dengan Wira, lelaki dengan tubuh kurus tinggi itu sudah menyelesaikan kuliahnya semester lalu. Saat ini sedang mengejar cita-cita utamanya—menjadi gamer profesional supaya bisa menghasilkan uang dari bermain game.

Jendra, yang siang tadi meminta mereka mengadakan pertemuan, menatap keenam wajah di ruangan itu satu-persatu. Ia teringat pembicaraannya dengan Gala kemarin, serta permintaan lelaki itu.

"Jadi gini," katanya memulai.

"Ini kalo ngomongin Aming, gue males ya," timpal Wira tiba-tiba.

"Berisik anjir, orang belum ngomong udah dipotong." sergah Chandra.

Wira mencibir menyebalkan, Chandra memutar bola matanya, sementara Jendra menghela napas.

Sulit mempercayai kalau orang-orang di hadapannya ini sudah berusia kepala dua. Bahkan, terkadang tingkah mereka membuat Jendra lupa kalau mereka adalah mahasiswa.

Lebih mirip anak TK.

"Lo semua udah pada kenal Gala, kan?" Jendra bertanya setelah suasana lebih tenang.

"NGGAAAAK." suara Iyan terdengar pertama kali. Lantang, namun disuarakan dengan wajah bosan.

"SAMAAAA." Hilman yang sejak tadi hanya menyimak, ikut menambahkan.

Seta terkikik. Jendra membuat gerakan seolah sedang melempar sesuatu ke arah keduanya.

"Makanya abangnya sakit tuh dijengukin," cibir Jendra, kesal.

"Ya Bang Ajin udah tahu sekantor, pergi ke Bang Yoga sendirian aja. Ngajak juga nggak???" sergah Iyan, nyolot.

"Gueeeeee, gue lagi bantuin Ibu kemaren di panti, Bang. Dih parah Bang Ajin malah nyalah-nyalahin, dibilang lagi ada acara kemaren!" kali ini, suara berisik Hilman yang membela diri.

Chandra cuma bisa memijit keningnya dalam diam. Hilman dan Iyan, kalau disatukan, memang mirip petasan banting. Berisik.

"Yaudah, udah," Wira menengahi. "Jadi Bang Ajin mau ngomong apaan?"

Jendra menarik napasnya sebelum bicara. "Gala mau ikut gabung sama kita. Ngerti, kan? Maksudnya, gabung... di Big Wave."

Hening.

Hilman dan Iyan saling bertukar pandang. Begitu pula Juniar, Chandra dan Wira. Sementara Seta, menatap Jendra bingung, seolah meminta penjelasan lebih lanjut.

"Gue beneran nggak ngerti hubungan dia sama Yoga kayak apa, kita semua juga cuma tahu dia sama Yoga sodara tiri, kan?" Jendra kembali bicara. Yang lain menyimak. "Kemaren dia nemuin gue. Bilang kalo dia mau bantuin Yoga. Dia bilang, abis kita jenguk itu, keadaan Yoga agak mendingan. Ya masih linglungan sih, tapi mendingan...?" lanjut Jendra, agak ragu.

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang