25,7; mini reunion

79 11 5
                                    

.

Angga menutup kembali pintu yang baru ia lalui. Pintunya sudah rapuh, butuh ketelatenan di luar kewajaran untuk dapat melalui tanpa merusaknya. Bayangan Hilman dan Iyan tiba-tiba melintas di kepala Angga, membuat pemuda itu menahan tawa. Kalau dua anak itu yang tadi membuka pintu itu, Angga berani memastikan kalau sekarang pintunya pasti sudah rubuh.

Tapi, itu bukan hal penting sekarang.

Di dalam rumah, pintu samping ini menjadi satu bagian di dekat dapur, terhalang sebuah lemari jati besar, serta tersembunyi dalam minimnya penerangan. Angga meneliti sekitarnya. Ia tidak akan heran jika tidak seorang pun mengetahui keberadaan pintu samping ini. Ia sendiri tidak akan tahu, jika bukan karena Yoga pernah mengajaknya masuk dari sana.

Sambil menyembunyikan diri di sisi lemari, Angga menajamkan pendengaran. Suara-suara datang, dari kamar Yoga yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya bersembunyiㅡia yakin, meskipun tidak benar-benar bisa melihat.

"Jadi, siapa yang nginep?"

Itu suara Juniar.

Beberapa suara langkah kaki terdengar, sedikit suara ribut Hilman, lalu suara pintu yang ditutup. Angga menahan napas. Apa tadi kata Juniar?

Menginap?

"Gue aja," seseorang menyahut. Dari semua anak Big Wave yang Angga harapkan untuk ada di sini, orang ini jelas bukan salah satunya. "Palingan gue juga nggak tidur, mau ngebut skripsi."

Benar, kan. Itu Wira.

"Weh, mantap, Sin. Udah mau kelar? Sidang kapan?" Juniar bicara lagi.

"Doain aja."

Meskipun tidak bisa melihat, Angga hampir yakin bahwa Wira pasti tersenyum kecut ketika menjawab. Ia mengenal Wira, sama baiknya dengan ia mengenal Yoga. Dua teman terbaiknya, dulu.

"Sendiri nggak pa-pa nih?" Itu suara Chandra. "Mau gue temenin nggak?"

"Kayak apaan aja dah," protes Wira, setengah tertawa. Suara tawa Chandra dan Juniar menyusul setelahnyaㅡjuga Hilman. Angga hampir yakin ia juga mendengar suara Iyan. Setelahnya, kumpulan itu bergerak, menjauh dari tempat Angga berdiri, menuju pintu depan.

Tanpa sadar, Angga menahan napas. Haruskah ia maju sekarang? Atau menunggu sebentar lagi? Atau menunggu sampai seluruh anak Big Wave benar-benar pergi?

Tapi, jika Wira memang akan menginap, mengendap-endap ketika hanya ada Wira di rumah, tidak terdengar seperti rencana yang baik. Bagaimana pun, Wirawan Sinadi memiliki tingkat kepekaan dan kewaspadaan yang cukup tinggi.

Angga menunggu. Batinnya lalu memutuskan, bahwa sekarang adalah saat yang tepat. Ketika seluruh orang di rumah ini sedang sibukㅡdan terfokusㅡpada hal lain selain Yoga.

Karenanya, lelaki itu kemudian melesat, menyeberangi dapur, menyembunyikan diri di balik dinding terakhirㅡyang tepat berseberangan dengan kamar Yoga. Angga mengintip sejenak, kawan-kawannya berada di ruang tamu. Dari sini, jika ia menyeberang sekarang lalu salah seorang di antara orang-orang itu menoleh ke arahnya, maka berantakan sudah rencananya.

Jadi, Angga menunggu sebentar lagi. Membuat perhitungan lain. Ketika akhirnyaㅡentah bagaimanaㅡlelaki itu merasa aman, ia bergegas menuju pintu di hadapannya, membukanya perlahanㅡtanpa suara, lalu menghilang di baliknya.






🆙🆙🆙




Ruangan itu sunyi. Hanya napas terengah Angga yang terdengar. Sejenak, Angga memilih untuk menyandarkan tubuhnya pada pintu terlebih dulu, menenangkan diri. Ia tidak peduli pada sesosok manusia yang berada di tengah ruanganㅡterduduk bersandar di kepala ranjang, yang kini sedang memandangnya dengan mata membulat.

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang