22,0; r u, m i

80 16 19
                                    

.

"Lagi?"

Angga mengerang tidak percaya kala mendapati sosok Seta di ambang pintu kamarnya. Pemuda di hadapannya itu tidak menanggapi, malahan tersenyum lebar sampai sepasang matanya nyaris menyipit.

Ini kali ketiga Seta bertamu ke rumah Angga dalam dua minggu terakhir, dan Angga mulai merasa muak.

"Kalo lo lagi sibuk, gueㅡ"

Tanpa menyela, Angga menggeser posisinya berdiri. Memberi jalan kepada Seta sembari membuka pintu kamarnya lebih lebar. Ia butuh sesedikit mungkin keributan dan ia tahu Seta akan berhenti bicara dengan sendirinya jika ia melakukan itu.

Dugaan Angga tepat, karena setelahnya, cengiran lebar Seta kembali menghiasi wajahnya.

"Ngapain lagi?" Angga bersuara, berjalan mendahului Seta untuk mencapai tempat tidurnya. Ia kemudian menghempaskan diri di sana, sebelum menoleh pada Seta dengan mata memicingㅡmenunggu jawaban.

"Nyokap lo yang minta gue mampir," balas Seta, nadanya membela diri. Ia lalu mendudukkan diri di kursi meja belajar Angga.

"Urusan apa?" tanya Angga, sangsi.

Ibunya memang menyukai Setaㅡdan menyukai kunjungannya waktu itu. Tapi Angga juga tahu kalau ibunya tidak akan menyuruh seseorang untuk mampir jika tidak ada yang sangat penting.

"Ya ada," Seta berkeras, terlihat meyakinkan. "Waktu gue pamit pas terakhir ke sini, Ibu nyuruh gue buat mampir lagi."

Angga mendengus keras-keras. Rasanya, ingin sekali ia melukai kepala Seta dengan sesuatu. Hanya supaya pola pikir Seta bisa berubah sedikit lebih lurus.

"Jangan goblok. Itu Ibu cuma basa-basi." ketus Angga. Membuat Seta tergelak di tempatnya.

"Ya, tahu, Ming, gue juga," sahut Seta di sela tawanya, kepala menggeleng pelan. "Kemaren kantor abis ngetrip ke Bandung. Gue ke sini ya sekalian mau ngasih oleh-oleh aja buat Ibu."

Nada bicara Seta begitu sederhana. Seolah tidak sedang ada yang salahㅡseolah tidak pernah ada yang salah. Jadi, Angga mengirim satu tatapan tajam pada kawannya itu, menunggu Seta untuk menyadarinya.

"Gue niat balik ke rumah abis trip, tapi nggak jadi. Yaudah, daripada oleh-oleh sebanyak itu abis buat Chandra sama Ijun doang di kontrakan, ya mending buat Ibu juga."

Sekali lagi, Seta menyahut santai bahkan setelah menyadari sorot mata Angga yang mengarah padanya. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Rencananya menyempatkan diri untuk pulang ke rumahnya di Cirebon memang batal, dan sebagian buah tangan yang ia beli untuk orang rumah berakhir ia alihkan untuk Angga dan keluarganya. Itu bukan hal aneh bagi Seta. Ia sering melakukan hal yang sama dulu. Sebelum jarak merenggang di antara mereka.

Malas berdebat, Angga mengabaikan alasan Seta.

"Jangan mikir semuanya udah baik-baik aja cuma karena kemaren gue mutusin buat ceritain hal-hal tertentu sama lo, Bang. Itu nggak ada hubungannya sama semua ini dan nggak ngubah apa-apa."

Seta terdiam. Keduanya lalu larut dalam hening yang disengaja. Diam-diam, Seta memang berharap sesuatu akan berubah setelah kemarin Angga memutuskan untuk menjawab jujur beberapa hal yang ia tanyakan. Angga membuka diri. Seta pikir, itu berarti sesuatu.

Ternyata tidak.

Mungkin, mereka memang sudah berjalan terlalu jauh pada arah yang berlawanan. Hingga ketika mereka ingin kembali, lebih mudah untuk tersesat dibanding menemukan jalan pulang.

Jadi, Seta memilih mengalah. Perjalanannya menjemput Angga untuk kembali pada mereka ternyata masih lebih panjang dari yang ia perkirakan.

"Yea, oke," sahut Seta, kembali bersikap normal. "Kalo lo seenggak suka itu, anggep aja gue cuma lagi silaturahim sama Ibu. Jangan kayak anak kecil, Ming. Mau musuhin orang aja mesti berkoloni."

Jeda sampai Angga mendengus tertawa. Tawa yang meremehkan. Menghina. Matanya mengarah lurus pada Seta sewaktu ia akhirnya berujar, "Harusnya lo ngomong gitu sama temen lo, tuh."

Membuat Seta mengernyit, berpikir. Ia baru akan membuka mulut untuk bertanya ketika tiba-tiba saja, sebuah pemahaman berkunjung ke kepalanya.

Wira.

Tentu saja, siapa lagi?

"Ming..." tenggorokan Seta mendadak kering.

"Udah lewat. Kayak yang gue pernah bilang, percaya aja apa yang kalian percaya. Gue udah nggak peduli juga."

Ruangan itu kembali hening. Seta masih berusaha menemukan suara, atau menemukan sesuatu untuk disuarakan. Sementara Angga tidak lagi memperhatikan. Ia memejamkan matanya sebentar, sebelum akhirnya bangkit ke posisi duduk lalu sibuk dengan ponselnya sendiri.

"Ngomong-ngomong soal percaya," suara Seta akhirnya memecah hening. Terdengar biasa. Normal. Tenang dan tidak mengandung tekanan apa-apa. Sekali lagi, pemuda itu dengan sempurna mampu menutupi ketidakberdayaannya sendiri. "Gue jadi inget sesuatu."

Angga menoleh, mengalihkan perhatian dari layar ponselnya. Sorot matanya datar, tidak bertanya, tidak pula penasaran. Hanya sekadar menunjukkan tanda kehidupan.

"Lo mau peduli apa nggak ya terserah lo sih, gue pengen ghibah aja."

Kening Angga berkerut. Kepalanya mengedik samar, mempersilakan Seta melanjutkan apapun yang hendak dikatakannya. Seta memperbaiki letak duduknya sebentar, lalu menatap lurus pada Angga.

"Kemaren Ajin sempet cerita..."

Lalu kerutan di kening Angga kian mendalam seiring dengan penuturan Seta yang ia dengar.






🆙🆙🆙






Angga menghempaskan tubuhnya ke kasur sembari menghela napas dalam-dalam. Seta baru saja pulang, membuatnya lega karena kini ia bisa kembali berteman dengan isi kepalanya sendiri.

Isi kepala Angga sedang ribut, tentu saja. Setelah satu dua hal yang ia dengar dari Seta tadi, mana bisa pikirannya tenang?

Seharusnya bisa.

Seharusnya Angga tidak lagi terlalu peduli.

Tapi, benarkah itu?

Benarkah ia sudah tidak peduli?

Angga menggeleng. Setengah bangkit, tangannya terjulur ke laci nakas di sebelah tempat tidurnya. Ia menarik lacinya terbuka, merogoh sesuatu di dalam sana. Sebuah pisau lipat. Ukuran kecil. Terlipat rapi dan tidak mungkin bisa melukai.

Angga menariknya keluar. Kemudian, tanpa menutup kembali laci nakasnya, lelaki itu merebahkan dirinya lagi di kasur. Tatapannya mengarah pada langit-langit kamar, sebelum ia mengacungkan pisau lipat tadi ke udara, lalu mengeluarkan mata pisaunya.

Logam besinya berkilat tertimpa cahaya lampu kamar. Angga memperhatikan dengan seksama. Pisau lipat itu milik Yoga. Terbawa olehnya sejak acara Pekan Seni entah berapa tahun yang lalu. Sudah beberapa kali Angga berusaha mengembalikan, namun entah bagaimana, pisau itu masih saja ada padanya.

Perlahan, jari-jemari Angga menyentuh mata pisau. Tajam. Pisau kecil yang berbahaya. Beberapa pikiran lain yang tidak dimaksudkan sempat melintas di benaknya, membuat Angga tertegun sejenak sebelum akhirnya menggeleng sambil tertawa kecil.

"Ternyata bener ya, Ga?" Angga bermonolog, matanya masih menatapi mata pisau di tangannya. "Emang susah jadi orang baik..."








🆙🆙🆙


Quick question!

How do you guys read the title?

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang