10,0; pretty much correct

109 14 10
                                    

.

"Kak Ryaaaa!"

Rya tertawa kecil mendengar sambutan heboh Hilman. Gala pernah bilang, kalau Rya, Hilman dan Iyan cocok menjadi kakak-beradik. Tiga petasan banting. Super berisik.

"Jangan teriak-teriak, Man. Kasian tenggorokannya." sahut Rya kalem. Jika Gala ada di sini, lelaki itu pasti sudah membuat suara orang muntah. Padahal Rya serius mengatakannya. Ia tahu kalau Hilman sering mengambil job sebagai penyanyi cafe hanya untuk menambah uang sakunya. Sebagai penyanyi, Hilman pasti butuh tenggorokannya untuk selalu berada dalam kondisi terbaik, kan?

Padahal, Jendra sudah berkali-kali memberitahu Rya,

Hilman dan berteriak adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ia bisa demam dan meriang jika tidak menimbulkan suara berisik satu hari saja.

"Gala mana?"

"Di atas, lagi bantuin Bang Ajin nyiapin buat ntar malem."

Kening Rya berkerut. "Kalian manggung lagi?"

Hilman meringis. "Gue doang, Kak. Sama Bang Ajin."

"Lo lagi???"

"Hehehe," Hilman menggaruk kepalanya. "Ya abis gimana? Ini buat Big Wave, Kak. Kalo buat pribadi aja gue jalan terus, masa buat mereka malah nggak mau?"

Rya geleng-geleng kepala. "Man, tapi suara loㅡ"

"Tenang, Kak," Hilman tertawa. "Masih libur semesteran kok. Abis manggung biasanya tidur setengah hari. Gue butuh tidur doang buat recharge."

"Ck, dasar mamalia."

"Kok?"

"Hibernasi."

Keduanya tertawa bersama. Rya memang semudah itu berbaur dengan orang baru. Terhitung baru beberapa minggu mengenal para personil Big Wave, dan gadis itu sudah menjalin pertemanan yang baik dengan sebagian besar dari mereka.

Kecuali beberapa orang yang selalu menatapnya aneh.

Seolah dirinya adalah alien.

"HILMAN! NAIK BURUAN!"

Suara Jendra membuat lelaki di hadapan Rya berdecak pelan. Wajahnya terlihat kesal, Rya otomatis tertawa.

"Bang Ajin nih bacot bener dari pagi. Kelebihan gula apa gimana," gerutu Hilman seorang diri. Tawa Rya mengeras.

"Kok gak kerja doi?"

"Ngambil jatah sick leave," bisik Hilman dengan gaya bergosip, Rya terkikik. "Pengen aja gue suruh Iyan kasih tahu orang sekantor kalo Bang Ajin sebenernya gak saㅡ"

"WOI, HILMAN!"

"Ah, anjing, apaansih. IYA, BANG, BENTAR BUSETDAH!"

Di tempatnya, Rya sudah tergelak sambil memukul bahu Hilman, sebelum anak itu akhirnya melesat ke dalam ruko, menuju lantai atas.

"Kak Rya kalo mau masuk, masuk aja. Nunggu di dalem!" pesan Hilman sebelum benar-benar menghilang dari pandangan.

Rya tersenyum kecil. Teringat sosok Wira yang di awal pertemuan dulu, sempat menyindir Rya soal peraturan "orang asing dilarang masuk". Rya memang tidak lagi seasing itu. Ia pernah berada dalam ruang basecamp ini satu-dua kali. Tapi hari ini, Rya sedang enggan berada di dalam. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu di teras, sambil memperhatikan stiker Big Wave yang ditempel di kaca jendela, serta di pintu ruko.

Gadis itu memperhatikan detil lambang Big Wave yang berbentuk seperti gambar ombak menyerupai angka sembilan. Atau, apakah angka sembilan itu hanya perasaannya? Iseng, Rya mengabsen satu-persatu nama personil Big Wave dalam hati. Rasa penasarannya ingin memastikan.

Jendra, Seta, Juniar, Chandra, Wira, Yoga, Hilman, Iyan...

Rya mengernyit, alisnya bertaut. Jari-jarinya kemudian bergerak menghitung dengan lebih hati-hati.

Delapan.

Mungkin angka sembilan itu hanya perasaannya saja? Atau hanya kebetulan? Entahlah, Rya mengangkat bahu.

"Lo siapa?" suara seseorang membuatnya menoleh. Di belakangnya, berdiri sesosok tinggi, seorang lelaki, dengan pupil yang melebar setelahnya.

Rya menaikkan alis, samar. "Lo siapa?" ia justru bertanya balik.

Hening.

Lelaki itu justru menatap Rya, lama. Terlalu lama sampai gadis itu merasa canggung. Kenapa sih, orang-orang suka sekali menatapnya dengan tatapan menyebalkan seperti itu? Seolah mereka sedang melihat alien atau semacamnya...

"Lo... Siapa?" lelaki itu bertanya lagi, dengan suara yangㅡentah kenapa, menurut Rya, seperti bergetar.

"Ya lo siapa," sewot Rya. "Dateng-dateng nggak pake salam, nyapa apa gitu, tiba-tiba nanya gue siapa. Ketemu juga belom pernah???"

Sosok di hadapannya Rya itu terlihat seperti menyadari sesuatu. Kepalanya menggeleng satu kali, menatap Rya sekali lagi, lalu mengerjapkan mata.

"Kak Rya! Udah dibilang nunggu di dalem aㅡBang Aming...?" suara berisik Hilman seketika memelan di akhir kalimatnya. Mengusik dua orang yang tengah berdiri di teras. Keduanya menoleh.

Dan ekspresi Angga seketika kembali datar.

"Bangㅡeh, ngapain?" Hilman terbata sambil melangkah mendekat, menarik Rya menjauh dari Angga dalam satu gerakan samar.

Yang sayangnya tidak luput dari pandangan lelaki itu.

Jadi, Angga hanya mendengus tertawa.

"Ada perlu apa lagi, Bang?" tanya Hilman sekali lagi. Suaranya sedikit lebih tegas, membuat Angga tersadar sesuatu.

Tadi ia kemari hanya karena rindu.

Angga pikir, ia akan menemui tempat ini kosong dan terkunci seperti biasanya. Ia tidak menyangka akan ada Hilman, dan entah siapa lagi di dalam. Ia tidak menyangka akan ada...

"Gak usah mundur-mundur gitu, Man. Gue gak bunuh orang." Dengus Angga, tidak sadar kalau kalimatnya justru membuat Hilman menciut.

"Man, dipanggil Bang Aㅡ" langkah Gala terhenti di ambang pintu. Baik Rya, Angga dan Hilman menoleh ke arahnya hampir bersamaan. Ada perubahan ekspresi di wajah Angga, yang nyaris tidak terlihat.

"Ck," Angga berdecak pelan, setelahnya tertawa sarkas. "Emang udah berubah banget ya tempat ini," Angga menyeringai. "Man, bilangin Bang Ajin gue ke sini. Nanti gue hubungin doi."

Hilman bahkan tidak sempat mengangguk saat Angga berbalik lalu bergegas pergi. Meninggalkan tiga orang di sana dengan tatapan bingung.

Hilman menghela napas. "Kak Rya gak diapa-apain kan sama orang tadi?"

Alis Gala terangkat, berbeda dengan Rya yang justru mengernyit.

"Kok nanyanya gitu?"

Rya kira Hilman hanya bercanda, tapi wajah serius anak itu membuat Rya tertegun.

"Kak," Hilman menghadap Rya, menatap gadis itu sungguh-sungguh. "Kalo lo ketemu dia lagi, orang yang tadi, jauh-jauh aja ya. Dia..." Hilman mengalihkan pandang, seolah sedang mencari kata yang paling tepat untuk menyelesaikan kalimatnya. "Bukan orang baik."

"Hilman, itu tuduhan yang serius. Lo gak bisaㅡ"

"Namanya Angga, kita semua biasa manggil dia AmingㅡBang Aming," potong Hilman, dengan suara pelan. "Dia dulunya bagian dari Big Wave, dan deket banget sama Bang Asin, Bang Yoga, Bang Seta. Tapi sekarang nggak lagi," Hilman menghentikan penjelasannya, membuat rasa penasaran Rya menggunung.

"Karena dia... orang jahat yang bikin Bang Yoga jadi kayak sekarang."

Kedua mata Rya membulat tak percaya. Sementara di sisinya, Gala hampir tersedak.






🆙🆙🆙

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang