21,0; gratitude

83 13 13
                                    

.

Kecuali kembar sedarah, Yoga tidak pernah mempercayai ungkapan bahwa di dunia ini, terdapat orang-orang dengan wajah yang mirip satu sama lain.

Dulu, sewaktu Kiara heboh mengatakan ada adik tingkat di fakultasnya yang mirip dengan Wira, Yoga sampai mendatangi fakultas Kiara demi memastikan kabar tersebut. Ketika benar-benar melihat dengan matanya sendiri, Yoga langsung berkesimpulan bahwa Kiara hanya melebih-lebihkan.

Tentu saja tidak mirip.

Mana bisa seseorang mirip dengan orang lain? Mana bisa dua orang asing memiliki kemiripan?

Keyakinan itu yang kemudian membuatnya ketakutan ketika pertama kali melihat gadis itu muncul di hadapannya.

Saat itu, Yoga kira, ia kehilangan akal. Saat itu, ia mengira dirinya tidak waras. Mungkin, perasaan bersalah dan kegilaannya sedang mengambil alih. Mungkin ia sedang berhalusinasi, hingga ia merasa sosok Kiara berdiri di depannya. Menatap ke arahnya.

Dengan sorot mata yang sama.

Itu tidak masuk akal. Bagi seseorang yang normalㅡdan warasㅡtentu saja itu tidak masuk akal. Dan fakta itu membuat Yoga semakin merasa bahwa dirinya sudah gila.

Sampai ketika gadis itu mendadak datang lagi, bicara padanya, dan memperkenalkan diriㅡYoga sadar kalau gadis itu bukan Kiara. Sama sekali bukan. Hanya seseorang yang miripㅡsangat miripㅡdengan Kiara.

Bagaimana bisa seseorang begitu mirip dengan Kiara?

"Aku pulang dulu ya, Kak,"

Kepala Yoga perlahan bergerak, menoleh ke arah sumber suara. Gadis yang sejak tadi ada di pikirannya, kini berdiri di hadapannya. Dengan Gala di sisinya. Gadis itu tersenyum, hangat. Seolah sedang memeluk jiwa Yoga yang tersesat dan kedinginan.

"Besok ke sini lagi kalo sempet, hehe. Daah, Kak Yoga."

Acara pamitan itu berlalu singkat. Gala berbalik lebih dulu, menggumamkan sesuatu tentang memanaskan mesin mobil, sementara gadis yang bersamanya masih berada dalam jarak jangkauan Yoga. Dan tiba-tiba saja, tanpa berpikir, Yoga menggerakan tangannya.

Ia bergerak perlahan, meraih tali tas gadis itu. Butuh sepersekian detik hingga si pemilik tas menyadari gerakan tangan Yoga. Hingga ketika gadis itu berbalik menghadapnya, dengan raut terkejut yang terlalu jelas,

Yoga merasakan dirinya begitu ingin tersenyum.

Jadi, ia melakukannya. Berusaha menarik sudut bibirnya, hingga ia bisa memberikan senyum pada gadis baik hati di hadapannya. Gerakan itu perlahan, samar. Namun, gadis di depannya jelas menyadari semuanya.

"Kakㅡ"

"M-makasih ya,"

Suara Yoga begitu halus, nyaris tidak terdengar. Seolah momen itu memang sebuah privasi, tidak untuk diinterupsi orang lain selain keduanya.

"Makasih, Ya..." ulang Yoga, membuat sepasang mata yang menatap ke arahnya itu kian membulat.

Waktu seolah berhenti di antara mereka. Pandangan keduanya terkunci pada satu sama lain, tidak ada yang tahu apakah ada pesan tersirat yang tersampaikan dalam kontak sederhana itu.

Lalu ketika terdengar suara langkah kaki Gala yang mendekat,

Semua sudah kembali seperti semula.

Seakan tidak pernah terjadi.





🆙🆙🆙





"Kamu kenapa, kok tumben diem aja?"

Suara Gala mengusik indera pendengaran Rya, menyadarkan gadis itu bahwa sejak tadi ia melamun.

Pelan, Rya menghela napasnya. Kemudian mengalihkan pandang dari kaca jendela mobil, ke wajah lelakinya. Pandangan Gala sedang lurus pada jalan di depan. Lantunan Paris in the Rain milik Lauv tengah mengalunㅡentah sejak kapan Gala menyalakan radio, Rya tidak memperhatikan. Kepalanya sedang dipenuhi banyak hal, dan Rya tidak tahu bagaimana mengurai hal-hal itu.

"Malah bengong lagi," Gala kembali bersuara. "Tuh, tuh, ada yang nyalain lampu sen kanan tapi beloknya ke kiri, nggak dikomentarin?"

Mau tidak mau, Rya tersenyum mendengar topik tidak penting Gala. Lelakinya memang begitu. Gala-nya memang selalu seperti itu.

"Kamu sakit?" Gala bertanya lagi.

"Nggak, Gal."

"Terus?"

"Ngantuk."

"Oh,"

Hening sebentar.

"Tidur aja dulu, nanti kalo udah sampe aku bangunin."

Rya tidak menanggapi. Pun senyum tipis yang tersungging di bibirnya tidak terlihat oleh Gala. Lelaki itu hanya sesekali menoleh ke arahnya, disela kesibukannya menyetir.

Untuk beberapa meter selanjutnya, perjalanan mereka kembali dibalut sunyi. Sampai Gala menghentikan mobil demi menunggu lampu merah, lalu mengalihkan fokusnya pada Rya penuh-penuh.

"Are you sure you're just sleepy and there's nothing else?"

Kepala Rya otomatis tertoleh pada lelakinya. Percuma ia berusaha menyembunyikan sesuatu dari Gala. Gala selalu tahu. Sama seperti dirinya yang juga selalu bisa menebak gelagat Gala. Agaknya mereka telah terlalu mengenal satu sama lain sampai tidak ada satu tingkah asing pun yang dapat luput dari perhatian masing-masing.

"Nggak pa-pa kalo belum mau atau nggak mau cerita. We're an individual first before anything else." Gala tersenyum saat mengatakannya. Senyuman yang hangat. Yang penuh pengertian.

Salah satu alasan kenapa Rya bisa bertahan sejauh ini dengan Gala, adalah karena Gala selalu bersedia memberinya ruang untuk dirinya sendiri. Selalu ada ruang yang tersisa, untuk mereka penuhi sendiri-sendiri, tanpa diganggu oleh satu sama lain.

Kesediaan itu yang justru membantu Rya untuk menyadari, betapa ia membutuhkan lelaki di sampingnya ini.

"Gak pa-pa kok, Gal," Rya akhirnya bersuara setelah menimbang cukup lama. "There's a thing or two, but nothing serious."

Ia tersenyum. Dan Gala membalas senyum itu. Mobil kembali melaju. Fokus Gala kembali pada jalanan sehingga Rya bisa mengambil waktu untuk memikirkan hal lain. Hal-hal yang sejak tadi mengganggunya.

Tentang Yoga.

Tentang bagaimana lelaki itu bicara padanya, setelahㅡyang ia tahuㅡselama setahun lebih tidak berbicara pada siapa pun sama sekali. Tentang bagaimana lelaki itu seringkali memberikan respon padanya, setiap kali ia berusaha berinteraksi. Tentang bagaimana Yoga tiba-tiba kembali menjadi Yoga yang kosong ketika mendengar Gala datang...

Rya tidak tahu apa alasan Yoga melakukannya. Tentu saja, sekarang Rya yakin kakak tiri Gala itu tidak sepenuhnya sakit. Ada yang tidak benar, namun tidak separah yang Rya pikirkan. Atau mungkin, memang sudah membaik dari sebelumnya?

Rya tidak bodoh. Sejak awal ia menerka, kemiripannya dengan mendiang Kiara mungkin saja berarti sesuatu. Mungkin saja, ia memang ditakdirkan untuk membantu Yoga. Mungkin memang seperti ini.

Tidak apa-apa.

Ia hanya berniat baik.

Diam-diam, Rya melirik Gala. Bahkan sampai mereka tiba di ujung gang sebelum rumahnya, Rya tidak bisa menemukan alasan kenapa ia memutuskan untuk tidak memberitahu Gala yang sebenarnya tentang perkembangan Yoga.









🆙🆙🆙

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang