lix| fifty-ninth

967 192 32
                                    

➻ Kali ini Dawon mengemudi, Hoseok menggigiti jari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kali ini Dawon mengemudi, Hoseok menggigiti jari.

Wajah mereka tempias karena keringat dingin. Rambut Hoseok acak-acakan--belum sempat mandi. Persiapannya hanya meliputi sikat gigi sekadarnya dan parfum yang disemprot sembarangan. Sang kakak tak ubahnya kucing tidur yang dibangunkan subuh-subuh--mengantuk, tanpa make-up, dan helai panjang yang disisir sia-sia menggunakan jari. Dawon bahkan masih menggunakan sandal rumah.

Langitnya mendung; jam sepuluh pagi sama seperti jam enam. Dawon meliuk-liuk di jalanan dengan geligi yang mengamit bibir, mengklakson kesetanan.

"Lampu sennya jangan dinyalakan kalau tidak mau belok, sialan! Bukan kamu doang yang buru-buru!" Dawon mengumpat nyaring, namun Hoseok tidak perlu repot-repot untuk menutup telinga. Bahkan, dia tidak mendengar apapun selain degup jantungnya sendiri dan pikiran negatif yang berputar di kepalanya seperti kaset rusak.

"Noona," Hoseok bergumam kalut. Dawon menanggapi dengan dengusan.

"Apa?"

"Bagaimana kalau sudah terlambat?" Hoseok memuntahkannya dengan muak. "Bagaimana kalau tidak sempat... lalu..."

"Mending kamu tutup mulut saja kalau tidak bisa bicara yang bagus-bagus," sentak Dawon galak. Walaupun dia bilang begitu, ujung jarinya memutih karena genggaman pada kemudi yang kian erat saja.

Hoseok mengunci bibirnya, kembali menggigiti jari.

Audi seri A6 mengepot di jalan, berbelok di perempatan sebelum buru-buru masuk ke kawasan rumah sakit. Dawon memesan parkir dengan tak sabaran, lalu mengebut dan berhenti tepat di depan ruang UGD, hampir menabrak ambulan.

Hoseok meloncat keluar, diikuti sang kakak yang menjejalkan kunci ke saku. Kim Namjoon berdiri di hadapan mereka, membelalak lebar.

"... Eh, hai?" sapanya kikuk. Hoseok buru-buru memberikan pelukan ular sanca.

"Maaf aku baru datang sekarang, bangsat benar memang, tidak menemanimu semalam. Habis ini kau boleh melepaskanku, aku memang tidak berguna. Uhh... Namjoon..."

"Astaga, hei. Tidak apa-apa. Semua sudah selesai. Jangan mengotori kausku dengan ingusmu begitu!" Namjoon menggeliat dari remasan sang sahabat. Terkekeh geli.

"Bagaimana keadaannya, Namjoon?" Dawon berkuak. Namjoon tersenyum pada wanita yang lebih tua empat tahun dari dirinya itu, mengangguk kalem.

"Tidak apa-apa. Sudah baikan," katanya dengan lesung pipi. "Memang sempat kritis semalam. Pernafasannya tersumbat atau apalah, aku tidak begitu paham. Dokter telah menanganinya dengan baik, dan dia tertidur pulas lagi sekarang. Kalian tidak usah khawatir, serius!"

Dawon mengesah lega, dan Hoseok melepaskan pelukannya pada Namjoon yang langsung meregangkan tubuhnya.

"Sekarang aku mau pulang. Aku lapar."

"Eh, pulang?" Dawon mengernyit heran. "Kau tidak mau menemani dia sampai keadaan lebih baik? Aku bisa membelikanmu makanan."

Namjoon cepat-cepat menggeleng. "Tidak tidak. Dia selalu baikan. Tidak butuh ditemani siang malam seperti itu. Lagipula, aku masih memiliki setumpuk buku ekonomi milik pelangganku untuk diterjemahkan. Lalu, aku juga harus sekolah kan?"

Namjoon tersenyum lagi.

"... Err tapi kalau kalian mau membantu, aku kenal restoran jjajangmyeon dan kimbab yang enak. Ayo kesana!"

Hoseok dan Dawon beradu pandang. Pada akhirnya, Audi berwarna silver yang ditumpangi keluarga Jung memuat dua anak SMA, satu mahasiswi jurusan desain busana, dan sepeda kuning yang terikat di atasnya.[]

⏤ heartbeat // namgi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang