3. Perasaan Baru

548 46 2
                                    


               Hari ini Violin pulang bersamaku. Aku sama sekali tidak bersemangat. Vio melihat raut wajahku, kemudian menarikku ke Cafetaria.

       "Vio! Gue mau pulang." kataku, Vio memelototiku dan memaksaku duduk. Kenapa sih harus ngaret di Kampus! Inikan jadualnya UKM Karate latihan!

      "Diem disini, aku pesenin es jeruk dulu."

     "Gue maunya es teh!" Vio mengangkat jempolnya dan memesan dua minuman. Kemudian dia memberikannya padaku-Cafetaria ini sepi karena sudah jam pulang, jadi Vio tidak perlu lama mengantri.

     "Ayo cerita sama aku." aku menghela nafas, dan kemudian mulai menceritakan padanya tentang gosip Daniel—mantan pertamaku, yang sudah menyukai cewek lain.

Mata kuliah Seni membuatku menghela nafas. Aku benar-benar payah dalam seni tapi karena ini masih semester awal, jadi aku terpaksa mengambil SKS ini. Aku menatap kanvas dan alat melukisnya dengan pandangan nanar.

     Yang lain sudah mulai mencoretkan sketsa yang akan mereka lukis. Tetapi tidak denganku, aku masih berpikir apa yang akan aku lukis.

     Kemudian Lena menepuk bahuku. "Cepat, Rose. Kamu mau ketinggalan yang lain?"

     "Tapi gue harus ngelukis apa?!" kataku dengan suara pelan tapi kesal. Lena tampak berfikir.

     "Lukis apapun yang sedang kamu pikirkan atau rasakan." kata Lena. Huh, dia benar-benar tidak membantu. Aku diam. Ketika Pak Dosen melewati mejaku dan Lena untuk mengawasi kegiatan melukis kami, aku buru-buru memegang kuas dan mencelupkan kedalam cat. Gawat kalau pak Dosen melihatku belum mulai.

Kemudian suara Fauzan menghancurkan mood ku.

      "Apa, Dan? Lo suka sama Ita?" suara itu cukup kencang kalau untuk sebuah bisikan. Karena seluruh mahasiswa di dalam kelas langsung menoleh pada teman yang duduk disebelah mantanku itu.

     "Iya tuh! Si Daniel katanya suka sama Jelita." celetuk Rama yang duduk di seberang bangku Fauzan.

     Jelita adalah murid paling cantik dikelasku. Wajar saja Daniel menyukainya. Aku melirik ke arah Jelita, pipinya bersemu merah. Aku pura-pura ikut tertawa ketika Rama meledek pipi merah Jelita. Sial, kenapa hatiku rasanya seperti di remukan?

Kemudian aku mempunyai ide harus melukis apa.

     "Jadi, kamu mulai ngerasa menyesal udah mutusin Daniel?" tanya Vio setelah mendengarkan curhatku. Aku memandangnya galak.

      "Ya nggak lah! Mana mungkin gue nyesel. Lo sendiri tau kan, Vi, gimana sifat protektif dia." Violin mengangguk. Tetapi aku tidak bisa berbohong kalau hatiku sedikit sakit.

Kemudian hal yang tidak diinginkan benar-benar terjadi sekarang. Vio menyikut bahuku dan berkata,

      "Jangan noleh kebelakang." sebagai seorang manusia yang dipenuhi rasa penasaran, aku malah menoleh kebelakang. Disana, aku melihat Daniel sedang berjalan ke arah Cafetaria bersama Dave dan Nuriel. Sial, aku sudah duga mereka akan makan disini habis latihan karate.

     Aku dengan cepat bangkit dan ingin menarik Vio keluar dari Cafetaria. Tapi panggilan Nuriel membuatku terpaksa berhenti.

      "Oy, Rose!" aku menoleh padanya, sebisa mungkin aku tidak melirik Daniel disebelahnya.

     "Sini!" katanya. Aku mendekat. Vio meremas tanganku yang sedang dipegangnya. Seolah memberikan sinyal aku harus baik-baik saja.

     "Kenapa?"

Choco GranuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang