30. Kejelasan

196 22 2
                                    

"Boleh gue cinta sama lo?"

.
.
.
.
.


                 Sepertinya esok sudah datang, karena aku merasa ada sebuah cahaya memaksa masuk ke dalam mataku. Siapapun yang sengaja membuka tirai kamar yang aku tempati, aku akan menyumpahinya.

      Mataku mengerjap. Oh, baru sadar ternyata aku masih di rumah sakit. Membosankan. Menoleh, aku mendapati Daniel tersenyum seperti orang idiot ke arahku. Ah ya, dia masih disini rupanya.

         "How?"

        "How, what?" Siapa sih yang tidak sebal ditanya pertanyaan ambigu begitu? Apalagi ini masih pagi.

       "Your feeling, duh."

       "Never better."

       "Oh, good. Sayangnya bang Edgar bilang kita harus beberapa hari lagi disini. Kehabisan tiket."

      "Oh."

      Aku berusaha menyibak selimut, tapi entah kenapa jari-jari tanganku bergetar. Apa? Kenapa aku tremor begini?

       "You're not okey." Daniel menekan sesuatu diatas ranjang ini.

        Aku hanya berusaha menarik napas dan menormalkan jantungku yang mendadak berdetak cepat. Daniel duduk, membuka bukunya. Hell, bahkan liburan begini dia masih saja belajar?!

       "What?" seperti merasa diperhatikan, dia bertanya. Aku hanya menggeleng.

      Perawat datang, mengecek keadaanku, mencatat, dan berkata 'Dokter akan datang beberapa jam lagi' dalam bahasa Inggris.

        "Go home." Daniel menoleh cepat. Seperti kaget aku berkata begitu.

       "Ngusir?"

       "Nggak." aku menunjuk bukunya dengan daguku, karena tanganku masih terasa lemas. "Kalau banyak tugas, pulang aja ke Indo, selesaikan dan liburan dengan tenang."

        Daniel berdiri dari sofa tempat duduknya, dan berpindah duduk di ranjang yang aku tempati.

       "Yakin nyuruh gue balik?" Tatapannya seperti mengejek. "Biasanya minta ditemenin teleponan kalau lagi sendirian dirumah. Kapan lagi kan gue datengin langsung kesini."

      "Nggak usah angkuh deh. Diem-diem juga lo khawatir kan." cibirku. Terlalu kesal karena Daniel terus bersikap seakan hanya aku yang membutuhkannya. Eh, atau memang iya?

        "Hm, akhirnya lo tahu. Jadi, nggak usah sok-sokan nyuruh gue balik, okey?" tangannya bergerak mengusap puncak kepalaku. Seperti ada sengatan listrik saat dia merapikan anak rambutku yang berantakan. Ini bukan seperti Daniel. Dia tidak selembut dan seperhatian ini. Aku yakin pasti Daniel menyembunyikan sesuatu.

      "Dimana bang Edgar?"

      Daniel hanya menatapku lama, matanya bergerak aneh. "Hm? Dia harus balik ke Aussie. Mendadak katanya. Oh ya, dia juga bilang untuk ketemu di Singapur aja nanti."

       Tuh kan, pasti ada sesuatu. Tidak mungkin bang Edgar tiba-tiba pergi begini tanpa pamit padaku. Apa ... Sesuatu terjadi dengan Yovino?!

       "Jangan khawatir. Nggak ada yang terjadi."

       Ah, jadi dia membaca arus wajahku ya. Daniel kembali duduk di sofa, memakan camilannya dan kembali mengerjakan tugasnya, mungkin? Sambil sesekali mengecek ponselnya.

       "Dan, serius deh."

      "What?"

      "Gue nanya serius soal—"

Choco GranuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang