Apa yang harus aku lakukan supaya kamu bisa menoleh lagi kearahku, dan memperbaiki semuanya dari awal bersama aku?
.
.
.
.
.Daniel Pov —
Roseanne Eustachia Isabel. Entah apa yang harus aku lakukan terhadap satu gadis ini. Dia memang unik, sampai aku kehilangan akal hanya karena dia. Kadang dia membuatku ingin marah-marah saja rasanya, kadang juga dia membuatku sampai kehilangan kata-kata saking mengagumkannya.
Cuma satu hal konyol yang nggak pernah aku sesalin dalam hidup ini; memandangi wajahnya saat pertama kali. Dia yang duduk diam dengan tenang sambil menunduk, matanya bergerak mengikuti setiap kalimat yang dibacanya. Aku diam-diam bertanya pada teman pria—yang kebetulan duduk di sebelah ku, tentang dia. Kebetulan sekali pria di sebelahku waktu itu pernah satu kelas dengannya di semester awal. Katanya gadis itu galak. Percayalah, selama dua puluh satu tahun hidup, aku, Daniel Adiwijaya, bahkan nggak pernah melirik pada oknum berjenis perempuan. Bukan maksudnya aku homoseks, tapi hanya ... Tidak tertarik.
Perempuan itu ribet, berisik, dan sangat sensitif. Tapi ketika pertama aku melihat ketenangan dan kedamaian dalam matanya, aku sadar, bahwa akhirnya Tuhan menyuruhku untuk menghapus pemikiran itu dengan mendatangkan dia dalam hidupku.
Hal konyol kedua; aku semakin suka dan suka setiap hari padanya. Yang membuatku semakin suka dengan oknum bernama Rose ini adalah ketika dia dengan berani datang ke mejaku dan bertanya tentang aku. Apa dia sepeka itu? Dia sadar aku selalu memperhatikannya? Tapi karena tidak ingin terlihat bahwa aku tertarik, aku malah memberikan kesan buruk di awal percakapan kami.
Hari selanjutnya, Rose yang aku pikir tenang karena memang tidak banyak bicara, ternyata memiliki sisi lain. Aku melihatnya selalu terbengong, seperti memikirkan sesuatu yang sangat sulit untuk dipecahkan. Tangannya bergerak gelisah memegang pulpen, dan tanpa sadar mengigitinya. Saat itu aku sadar, dia diam bukan karena tidak banyak bicara. Tapi dia diam, karena menyimpan banyak rahasia.
Rose itu bagai malam. Begitu gelap dan rasanya sesak. Aku bahkan hampir tidak bisa membaca mimik wajahnya dan gerak tubuhnya. Beberapa yang berhasil aku tangkap adalah; kelam, sepi, lelah, dan kecewa. Sebenarnya, seberapa buruk yang dia alami?
Tapi setelah semua terlewati. Masa dimana aku bisa mengenalnya lebih jauh, membuatnya merona, tertawa, tersenyum, bahkan menangis sepertinya sudah habis. Terganti dengan masa dimana ia tertawa karena perlakuan seseorang yang baru dalam hidupnya.
Tentu saja aku melihatnya, dengan sangat jelas. Ketika ia berjalan keluar dari kelas, dan tersenyum mendapati seorang pria berkacamata sudah duduk di depan kelasnya, lalu mereka berdua berjalan bersama di koridor menuju parkiran.
Aku tahu betul, pria itu bukan dari Fakultas Bahasa dan Seni. Melihat kamera yang dibawanya, ku duga ia anak fotografi atau itu hanya sekedar hobi? Yang jelas, pria itu terlihat mencolok dengan tubuh tinggi, senyum yang memikat, serta cara berpakaian dan kacamata itu.
Mungkin, setelah dua hal konyol yang pernah dilakukan oleh ku, akan ada hal konyol ketiga. Ketika tanganku bergerak mengambil ponsel dan membuka aplikasi berwarna hijau. Mataku langsung tertuju pada roomchatnya.
Aku ingin mengetikan sesuatu padanya. Tapi tidak tahu harus berkata apa. Dari dulu aku payah dalam berkata-kata. Menjadi anak FBS tidak mengharuskan aku pandai berbicara kan?
Daniel
RoseAku melihat dia menghentikan langkahnya, dan berucap sesuatu pada pria itu. Rose mengambil ponselnya di dalam kantong celana, dan senyuman tipis terukir disana. Apa? Senyuman? Apa dia tersenyum karena satu pesan dariku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Choco Granule
Novela JuvenilHidup ku gelap. Banyak masa dimana aku mengalami kesepian. Hidupku pahit, seperti Cappuccino tanpa gula. Sedangkan hidupnya? Baik-baik saja. Hampir berjalan mulus. Hampir, karena mungkin aku sudah menjadi sedikit noda dalam hidupnya Kalau aku Cappuc...