31. Di Ujung Batas

197 19 4
                                    

"Kalau gue bukan pemanis dalam kehidupan lo yang pahit, setidaknya biarkan gue jadi rasa hambar yang bisa menetralisir semua rasa itu."

.
.
.
.
.


Rose POV—

               Ketika kamu sudah mengungkapkan perasaanmu yang sejujur-jujurnya pada seseorang, tapi orang itu tidak membalasnya—atau sekedar memgucapkan 'Aku juga', apa yang akan kamu lakukan?

       Ketika kamu benar-benar sudah yakin, tapi kemudian kamu berdiri disini—di depan pintu ruang rawat yang sedikit menampilkan seseorang yang begitu mencintaimu berbaring diatas ranjang dengan alat-alat dan bantuan pernapasan lain ... Lagi, apa yang akan kamu lakukan?

        Mana yang akan kamu pilih? Saat hatimu yang sudah yakin akan pilihan itu, dibuat ragu lagi karena rasa menyesal, kecewa, dan marah pada diri sendiri terhadap orang yang mengharapkan cintamu melebihi kamu mengharapkan cinta orang lain.

       Bahkan aku tidak tahu jawabannya. Meski sebuah tangan dengan kokoh merangkul bahuku agar tidak terjatuh dan terlihat tegar, pada akhirnya aku akan menangis lagi.

        "Apa yang kamu tunggu?"

      Bahkan ketika panggilan lo-gue berubah pada taraf yang lebih intens menjadi aku-kamu pun, belum cukup bisa meyakinkan hatiku akan pilihan yang sebenarnya sudah aku buat.

        "Rose? You okey?" tangan hangat yang tadi merangkulku, berubah menjadi cengkraman lembut di kedua pundakku.

       "No, i'm not."

       "Need a hug?"

       Tanpa aba-aba aku meneluknya. Membiarkan air mata yang sedari tadi memang sudah terjatuh, mengucur lebih deras lagi.

       "Kamu harus lebih kuat dari dia."

       "Apa yang harus aku lakuin, Dan? Aku ... Bahkan aku ... Aku udah nggak pantes nemuin dia lagi."

       Pria itu—yang membalas dekapan ku ini, melepas pelukannya dan tangannya bergerak mengusap air mata di pipiku. Memberikan senyum yang sebenarnya ikut merasa kesakitan.

       "Kita sudah membicarakan ini, kan?"

      "Tapi rasanya ... Jadi lebih sulit setelah aku ada disini. Aku bahkan nggak bisa menatap wajahnya lebih lama—"

      "Hanya cukup berada di sampingnya saat dia butuhi kamu, Rose."

        Aku tidak bisa membalas ucapannya dengan 'baiklah', jadi aku hanya mengangguk dan memantapkan hatiku untuk bertemu dengannya.

        "Dan, gimana kalau aku nangis?"

        "Nggak ada yang pernah ngelarang kamu ngelakuin itu, Rose."

       Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Sekali lagi menarik napas panjang, dan mengembuskannya perlahan. Tanganku akhirnya bergerak menyentuh knop pintu, dan mendorongnya agar aku bisa masuk ke dalam.

        Kakiku terasa melambat. Apalagi ketika matanya bergerak pelan ke arah ku. Bohong kalau aku berkata bisa menahan air mata, ini sulit sekali. Ketika suara alat di dalam ruang rawatnya semakin terdengar jelas, seiring dengan langkahku yang perlahan mendekat, dia menangis. Tidak berkata apapun selain ada sebuah senyuman tipis dan air mata disana.

        "Yo,"

        Dia hanya menatapku. Walau tidak berkata apapun, aku tahu apa yang dikatakannya. Dia sedih melihat aku menangis sekarang. Dia ingin menghapus air mataku, tapi tidak mampu.

Choco GranuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang