"... Sempurna dia buat gue, adalah ketika dia selalu melakukan hal-hal kecil tapi cukup bisa bikin gue merasa berharga ..."
.
.
.
.
.Hari-hari berlalu setelah kejadian malam itu. Malam dimana Yovino menatapnya penuh arti dan senyum yang tak biasa terpantri diwajahnya. Rose tidak mengerti maksud semua itu. Atau dia memilih pura-pura tidak mengerti.
Rose bukan anak kecil yang polos, ia tau kapan waktunya ketika seseorang mendekat padanya. Tapi selama ini Rose terus menekan itu. Ia bersikap pura-pura tidak tahu, karena pada dasarnya Rose sudah menutup diri pada semua pria. Kecuali dia. Ya, dia ... Daniel. Karena semua dimulai dari sana. Seseorang yang bisa membuat hidupnya lebih manis, ketika dirinya mengalami masa sulit dan pahit kehidupan. Daniel datang menjadi kesempurnaan dalam hidupnya. Tapi yang dilakukan Rose malah melepasnya. Sebuah kebodohan yang sangat Rose sesali sampai saat ini. Meski Daniel sudah berbuat brengsek padanya dengan berpura-pura dan berbohong. Rose tidak bisa membenci pria itu.
Tapi Rose juga tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri, bahwa perlahan ia mulai merasa lelah. Daniel begitu abu-abu. Hampir tidak ada lagi celah untuknya. Rose hampir putus asa, tapi ia meyakini hatinya yang ingin terus berusaha. Setidaknya sampai titik terlelah itu datang, barulah Rose akan berhenti.
Rose menatap tumpukan buku yang akan dia bawa dan mengembalikannya ke perpustakaan. Ia menghela nafas lelah, tapi tetap membawa tumpukan buku itu, dan berjalan perlahan di koridor.
Dug!
Brak!
Sebuah bola basket mengenai tumpukan buku yang sedang dibawanya. Buku-buku itu berjatuhan diatas lantai. Rose menggeram kesal, menatapi buku-buku yang berserakan, lalu kepalanya beralih mencari pelaku yang sudah membuatnya kacau.
"Heh!" Rose berteriak kesal. "Astaga, bisa nggak sih lo pake otak kalau mau main basket?!"
"Duh, gimana ya ... Dimana-mana main basket tuh pakai tangan dan kaki, bukan otak."
Rose menatap tajam kearah pelaku. "Tapi lo harus tau tempat, dan cara lo untuk berpikir itu pakai otak, tuan Yovino!"
Pria itu, Yovino, hanya memberikan cengiran idiotnya dan dengan cepat membereskan buku-buku yang berserakan. Ia melempar bola basket kearah segerombolan pria yang ternyata ada di belakangnya.
"Ayo, gue anter ke perpus."
"Yo, kenapa sih lo ada dimana-mana. Yakin lo bukan hantu?"
"Liat kaki gue napak nggak?"
Mata Rose otomatis melihat kearah kaki pria itu, menapak pada lantai. Lalu beralih pada wajahya dengan kacamata bulat jelek itu. Rose mendengus pelan, tapi tetap mengikuti langkah Yovino yang berjalan di depannya menuju perpustakaan.
"Hari ini, lo mau nemenin gue nggak?"
"Males."
"Ah, gue tau ... Lo nggak suka basa basi." Yovino seakan bermonolog, karena Rose hanya mendiaminya. "Kalau gitu, lo harus nemenin gue sparing basket sore ini. Gue nggak nerima penolakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Choco Granule
Roman pour AdolescentsHidup ku gelap. Banyak masa dimana aku mengalami kesepian. Hidupku pahit, seperti Cappuccino tanpa gula. Sedangkan hidupnya? Baik-baik saja. Hampir berjalan mulus. Hampir, karena mungkin aku sudah menjadi sedikit noda dalam hidupnya Kalau aku Cappuc...