"... Kalau dia alasan kamu tetap hidup dan melakukan ini, kamu harus membuktikannya ..."
.
.
.
.
.
Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya Rose dan Edgar sampai di tempat tujuan. Taxi mereka melaju menuju hotel yang sudah di pesan oleh Edgar. Sebenarnya, mereka bisa saja menginap di apartemen milik kedua orang tua mereka di pusat kota Italia, tapi tempatnya cukup jauh dari Venesia, jadi mereka tetap memesan hotel yang strategis dengan banyak tempat wisata di Venesia.Rose langsung merebahkan tubuhnya setelah mereka sampai di kamar hotel. Membawa dua koper yang sangat berat memang melelahkan. Edgar benar-benar mematuhi perkataannya, dia sama sekali tidak menyehtuh koper milik Rose dan dengan cuek berjalan membawa kopernya sendiri. Rose hanya bisa mendengus kesar dan bergumam menyumpahi Edgar.
"Cepat bereskan barang-barang kamu." Edgar sudah mondar-mandir di dalam kamar hotel—-yang sebenarnya sangat luas ini, meletakan peralatan mandi dan baju-baju ke dalam lemari.
"Bang~ bantuin aku dong. Aku capek banget nih nyeret koper dua ini." Rose mengeluh, masih diatas kasur empuk itu.
"Nggak. Salah kamu sendiri, kan? Abang udah bilang jangan bawa terlalu banyak."
"Tapi kan aku ini perempuan, kebutuhannya lebih banyak daripada lelaki!"
Edgar menghela napas kesal sekaligus lelah. Tanpa berkata apapun, ia menarik koper Rose yang berisi baju-baju gadis itu mendekat kearah lemari dan memasukannya dengan rapi. Mata Rose berbinar senang. Ia berlari ke arah Edgar, memeluk kakaknya itu, tidak lupa meninggalkan kecupan-kecupan di pipi.
"Uuh, makasih abangku yang ganteng sedunia!"
"Jijik banget sih ih, Dek. Mandi sana!"
Rose langsung berlari ke kamar mandi dan membersihkan diri sekaligus melepas penat dengan berendam beberapa menit. Setelah itu, Rose dengan cepat memakai baju tidurnya dan membaringkan diri di kasur empuk berseprai putih. Bahkan rambutnya masih ia gulung dengan handuk. Tapi masa bodo, Rose lelah. Jalan-jalannya besok saja, sekarang ia memutuskan untuk segera tidur walau matahari masih diatas sana.
Ponselnya berbunyi. Siapapun itu, Rose bersumpah ingin menghujatnya karena mengganggu acara tidurnya. Dengan mata terpejam, Rose menggapai ponsel di meja nakas dan mengangkat panggilan tanpa melihat siapa peneleponnya.
"Hawo?" Sambil menguap, Rose menjawab telepon.
"Iwh, lo baru bangun tidur jam segini?!"
Mata Rose seketika terbuka. Melihat Caller id; Yovino. Ia menghela napas menahan amarah. Berusaha tidak mengeluarkan sumpah serapah pada pria yang selalu membuatnya naik darah.
"Gue baru tidur, tahu!"
"Ngapain aja?"
"Bukan urusan lo!"
"Selalu galak." terdengar suara berisik di seberang sana. Bunyi alat yang Rose tidak tahu pasti apa itu sebenarnya. "Lo dimana? Gue dapet pemberitahuan kalau tagihan teleponnya gede banget nih."
"Siapa suruh telepon. Padahal lo bisa nge-Line kan?"
"Lo dimana?" Yovino tak menghiraukan omongan Rose.
"Ck, Venesia. Kenapa sih? Lo lagi di—-"
"Venesia?! Ngapain lo disana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Choco Granule
Fiksi RemajaHidup ku gelap. Banyak masa dimana aku mengalami kesepian. Hidupku pahit, seperti Cappuccino tanpa gula. Sedangkan hidupnya? Baik-baik saja. Hampir berjalan mulus. Hampir, karena mungkin aku sudah menjadi sedikit noda dalam hidupnya Kalau aku Cappuc...