8. Daniel atau Rasen?

327 42 0
                                    


          Waktu berlalu begitu cepat bagiku. Aku merasa semua kehidupanku berhalan normal. Sangat normal. Bahkan, saking normalnya, aku sampai merasa, bahwa hidupku ini sangat monoton dan membosankan. Aku ingin sesuatu yang baru, yang lain dari ini.

     Aku menjalaninya seperti biasa. Selalu bersama Vio dan Rensa. Kadang bersama Sari dan Zani kalau Vio dan Rensa sibuk dengan tugas kelasnya. Kebosanan ini aku gunakan untuk melupakan Daniel. Yeah, aku akui. Semenjak Daniel bilang kalau Daniel bakal nembak Jelita, disitu aku menyadari kalau aku menyesal. Entah apa setan yang merasuki ku sampai aku harus menutuskan hubungan singkat yang hanya berjalan tiga bulan.

     Tiga bulan yang berarti bagiku. Siklus hidpku berubah selama tiga bulan itu. Walau kata orang, punya pacar yang satu Fakultas, apalagi satu jurusan itu ga enak-awalnya memang tidak enak, aku selalu ditatap setiap presentasi ke depan, selalu diperhatikan ketika sedang menjelaskan beberapa materi kelompok pada mata kuliah Kewarganegaraan, karena aku satu kelompok dengannya, Daniel. Selau diam-diam ditatap saat sedang melamun atau yang lainnya-tapi bersama Daniel, itu semua terasa menyenangkan. Lama kelamaan aku terbiasa akan kehadirannya.

Waktu itu, dia pernah menghampiri mejaku, kebetulan Dosen sudah keluar.

     "Rose?" panggilnya saat itu. Aku menoleh dari novelku ke wajahnya.

"Kenapa?"

"Kamu pakai bedak ya?" aku spontan memegangi wajahku. Lantas menggeleng. "Oh, berarti kamu pakai parfum." aku menyerngit, heran. Apa maksudnya? Aku kembali menggeleng. Karena memang aku tidak pernah pakai parfum. Aku hanya mandi dengan sangat bersih. Kecuali kalau ingin pergi ke luar, misalnya ngedate.

"Kenapa sih?"

"Harum, Rei. Aroma tubuh kamu itu beda." katanya, dengan cengiran. Aku tertawa. Menutup novelku dan memukul bahunya. Lantas, mencoba mencium aroma tubuhku. Wangi? Emang iya?

"Emang kecium?"

"Iya. Pas ada aroma kayak gini. Aku tau itu pasti kamu. Soalnya ciri khas banget." selanjutnya kami tertawa dan membicarakan banyak hal lain. Sejenak, untuk pertama kalinya, aku mengabaikan novelku dan memilih menghabiskan energi dengan tertawa dan bercanda konyol dengannya juga teman-temannya yang sengaja membuat joke.

     Aku tersenyum mengingat itu. Rasanya ... Rindu. Aku merasa semakin bosan ketika pergantian matkul. Aku hanya diam di kelas lebih awal. Menenggelamkan kepalaku diantara lipatan tangan. Memejamkan mata. Menikmati bunyi jarum jam dinding dalam kelas. Sampai aku mendengar suara berisik. Segerombolan anak cowok kelasku masuk, dengan beberapa anak gengnya Josen, membawa gitar. Sudah kuduga, mereka pasti akan konser lagi di dalam kelasku kalau ada jamkos. Poor my sleep. Aku gabisa tidur deh.

Tapi, ketika aku ingin keluar kelas, melewati gerombolan Josen Cs. Aku dihadang oleh Gilang.

     "Dan, mantan." celetuknya, kepada Daniel-yang ternyata sekarang sudah duduk di atas meja dengan gitar dipangkuannya. Sejak kapan dia bisa main gitar?

Daniel hanya menoleh sebentar lalu kembali menatap gitarnya. Dia sedikit kesulitan ketika menekan kunci-kunci yang ingin dimainkan. Aku duga, dia baru belajar gitar.

Pertanyaanku, kenapa dia tidak belajar gitar saja saat masih pacaran denganku? Mungkin keadaannya akan berbeda. Aku yang akan mengajarinya, bukan Josen. Yap, aku bisa main gitar.

      Gilang kembali memberi jalan padaku ketika dirasa Daniel tidak menanggapi. Aku sedikit bersyukur, tapi sedikit kecewa juga kenapa Gilang tidak menahanku lebih lama agar aku bisa mempunyai alasan melihat wajah mantanku itu.

     Saat keluar kelas. Aku melihat Jelita dan Clara berada di koridor. Duduk di kursi depan kelas. Mengobrol. Clara, gadis yang sampai saat ini masih menyukai Daniel. Dia dulu pernah bertengkar denganku karena Daniel. Hanya karena Daniel.

Choco GranuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang