Namaku Roseanne Eustachia Isabel . Biasa dipanggil Rose. Sekarang aku seorang mahasiswa. Awal masuk Universitas Muara Sakti aku mempunyai tiga sahabat, mereka adalah Nuri, Riana dan Gina. Tetapi perlahan mereka menunjukan ketidak setiaannya dan kemunafikannya padaku. Mereka bertiga mengkhianatiku, aku tidak tau kenapa. Tapi aku tidak peduli dan memilih mencari teman baru.
Sejak saat itu, aku berteman dengan Volin. Violin segalanya bagiku, dia satu-satunya sahabat yang ku punya-itu sebelum aku bertemu dengan Larensa. Dan sekarang aku mempunya dua sahabat yang sangat setia dan mengerti aku. Mereka sama sepertiku-setidaknya kita sama-sama tidak suka pengkhianatan dan kita sering dibilang kembar, karena selalu bersama.
Ketika aku sedang berjalan dari arah Cafetaria bersama Violin dan Larensa. Dari lawan arah aku melihat tiga orang pria yang sangat aku kenal. Mereka adalah Daniel, Dave, dan Nuriel-mereka juga bersahabat, kenal karena satu UKM karate.
Violin menyikut perutku dan memberikan ku sinyal untuk melirik ke arah mereka. Tapi aku mengacuhkannya. Bukan apa-apa, aku hanya butuh waktu untuk Moveon. Salah satu diantara mereka adalah mantanku, dia Daniel. Belum lama ini aku putus dengannya. Sebenarnya alasan bodoh ku memutuskannya adalah karena dia terlalu protektif. Hell yeah, memang aku munafik, sebenarnya aku memutuskannya karena merasa bosan. Daniel menang sangat baik, dia juga rajin ibadah. Tapi entah kenapa kebaikannya yang over padaku membuatku terlihat jahat bedampingan dengannya. Maksudku, aku tidak lebih baik dari dia, dan dia pantas mendapatkan yang lebih baik dariku.
Apa aku bodoh? Tentu. Tapi aku tidak menunjukan semua isi hatiku pada kedua sahabatku. Diantara Vio dan Rensa, aku lebih dekat dengan Vio. Dia pendengar dan penasihat yang baik, dia tahu semua rahasiaku kecuali penyesalahku karena telah memutuskan Daniel, sebaliknya hanya aku yang mengetahui masalah keluarganya yang hancur, bahkan Rensa tidak diberitahu olehnya. Sedangkan Rensa dia hanya pendengar dan penyimpan rahasia yang baik, dia terlalu pemalu untuk memberikan solusi pada setiap masalah kami.
Aku melirik kearah mereka bertiga-Daniel, Dave dan Nuriel-setelah mereka meliwati kami. Aku melihat Daniel sama sekali tidak menganggapku ada. Buktinya, dia hanya menyapa Vio dan Rensa. Aku tau Daniel mungkin masih sakit hati akibat aku memaksa mekutuskannya. Aku sudah hampir enam kali memutuskannya tetapi dia menolak, akhirnya yang ketujuh kali, dia menyerah dan menerima keputusanku.
Semua hal perlahan berubah seratus delapan puluh derajat. Aku tidak lagi mendapat perhatian ketika telat makan, tidak lagi ada teman yang menemani ku sampai pulang UKM, tidak lagi ada yang membuat ku blushing ketika aku diam-diam diperhatikan saat membaca Novel. Daniel menjadi sangat dingin. Aku tau ini salahku.
— • —
"Anjing, lo jangan berisik." kata temanku, Riky. Dia PJ Kelas. Ada Dosen datang dan menegur kelas kami yang terlalu berisik. Jam kosong ini membuat kami berkeluyuran. Diantaranya kecafetaria, bercanda ria, dan lain lain.
Aku hanya diam dikelas. Membaca Novel dan mengerjakan power point yang sudah diberikan Prof . Anton. Tapi kedamaianku terusik karena aku merasa seseorang mengamatiku. Aku menoleh, dan mendapati di ujung sana seseorang mengamatiku, kalau tidak salah namanya Daniel. Aku belum begitu mengenal mereka.
Aku kembali fokus pada novelku. Tetapi mengetahui seseorang sedang mengamatiku membuatku terusik. Aku menoleh pada Lena-teman di kursi sebelah ku, dan aku berbisik padanya.
"Len, apa Daniel masih melihat ke arah sini?" kataku. Lena menoleh dan melihat ke arahku lagi.
"Daniel? Kayaknya iya." aku tidak bisa menyangkal kalau pipiku sudah merah sekarang. "Kenapa, Ce? Kamu suka?" aku dengan cepat menggeleng.
"Bukan begitu, Len. Gue cuma ga enak diliatin terus sama dia." kataku lagi. Lena tertawa tapi tidak berkata apapun. Sebagai mahasiswa yang tidak mengerti cinta karena terlalu sibuk belajar, Lena sebisa mungkin hanya menjadi pendengar yang baik untukku.
Aku kembali menoleh, kali ini Daniel tidak memperhatikanku. Ah, mungkin aku hanya kegeeran tadi.
Dosen kelas kedua datang. Sekarang mata kuliah Fonologi, mata kuliah Favoritku. Aku mengamati Mrs. Narsi dengan serius ketika dia sedang mempraktekan pengucapan dari kalimat. Lagi-lagi aku merasa di amati, aku menoleh, tetapi tidak melihat siapapun yang sedang memperhatikanku, semua fokus pada Mrs. Narsi.
Mrs. Narsi memberikan tugas—membuat power point untuk dipresentasikan nanti. Lagi-lagi kelas ini menjadi berisik. Haduh, begini deh kalau mahasiswa semester dua, bawaannya aktif banget. Aku merasakan kertas dilempar ke kepalaku, aku menoleh dan mendapati Insan menyengir padaku.
"Eh ... Balikin kapal-kapalannya dong." kata dia.
"Ngapain sih harus main kapal-kapalan, kayak anak kecil aja." kataku, tapi sambil menyerahkan kapal-kapalan itu.
"Berisik lo." kemudian Insan kembali bercanda dengan temannya. Tiba-tiba ada seorang Dosen datang.
"Lena ... Yang namanya Lena?" Lena segera mengangkat tangannya.
"Kamu di panggil ke ruang rektor." wow, ternyata Lena salah satu anak kesayangan Mrs. Riri.
"Iya, Miss." Lena pamit padaku dan meninggalkanku. Aku menghena nafas. Huh, lagi-lagi aku harus mencari kelas berikutnya sendiri.
Tapi tiba-tiba, ada sebuah bisikan padaku untuk mendatangi Daniel. Apa aku harus?
Setelah beradu antara logika dan hatiku, akhirnya aku menghampiri meja Daniel yang sedang bersiap pergi ke kelas berikutnya.
"Hai. Lo Daniel kan?" kataku, Daniel yang sedang main game di ponselnya mengalihkan pandangannya padaku.
"Iya, lo Rose, kan? Yang galak itu?" dia tertawa. Enak aja aku dibilang galak.
"Gue ga galak, sipit!"
"Tuh lo galak." sial emang. Akhirnya aku batal deh menanyainya soal-kenapa memperhatikanku?-. Apa aku akan terlihat terlalu percaya diri kalau menanyakannya?
— • —
Kelas terakhir akan segera berakhir. Aku bersiap-siap untuk pulang setelah memastikan tidak ada yang tertinggal.
Aku baru saja akan melangkah meninggalkakan kelas kalau saja tidak ada seseorang yang datang menghampiriku.
"Rei, boleh minta nomer lo?" aku tertawa. Jaman sekarang masih ada yang minta nomer telepon?
Wait, tadi dia bilang apa? Rei? Siapa Rei?
"Kenapa?" katanya. Aku menggeleng dan mengeluarkan ponselku.
"Nih." kataku. Dia segera mengetikan di ponselnya. Kemudian tersenyum padaku.
"Thanks, Rei" katanya.
"Nama gue Rose, by the way."
"Gue tau. Tapi kalau panggil Rose, berasa kayak manggil stalker—" dia menggantung kalimatnya. "Oh ya Rei, lo jangan gigitin pulpen ya kalau bengong, ga bagus." kemudian dia tertawa dan meninggalkanku. Sial, aku lagi-lagi blushing.
— • —
part 2 nya ketinggalan, dan malah ngepost part 3 duluan, huhu. ini part 2nya ya. Maafkan aku teledor.
Note: Garis miring itu flashback.
Note 2: Flashback ga harus ketika Roseniel masih pacaran, flashback bisa jadi sebelum mereka pacaran.sekian.
—at.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choco Granule
Roman pour AdolescentsHidup ku gelap. Banyak masa dimana aku mengalami kesepian. Hidupku pahit, seperti Cappuccino tanpa gula. Sedangkan hidupnya? Baik-baik saja. Hampir berjalan mulus. Hampir, karena mungkin aku sudah menjadi sedikit noda dalam hidupnya Kalau aku Cappuc...