32. Kepingan Waktu Terakhir (End)

283 21 4
                                    

"... Tunjukkan padanya kalau kamu bisa hidup lebih baik walau tanpa ada dia disisi kamu ..."

.
.
.
.
.

                 Semua tidak semudah seperti yang dibayangkan. Benar-benar tidak mudah. Setelah acara pemakaman Yovino selesai, bahkan aku tidak bisa menangis lagi. Yang aku lakukan hanya menatap tanah basah dengan tatapan kosong. Memang apa yang seharusnya aku lakukan? Menangis pun tak membuatnya kembali. Berkata bahwa aku sudah benar-benar memilihnya pun tak membuatnya kembali. Jadi aku hanya menatap prihatin pada dua orang wanita yang menangis berpelukan, tidak rela ditinggalkan olehnya.

      Wanita yang aku duga adalah ibu dari Yovino, menangis dipelukan satu wanita lain yang terlihat lebih muda. Ia tidak berhenti mengucapkan kata 'Maaf' dan 'Salah mama' dalam satu kalimat yang sama. Perempuan yang satunya juga menangis, tapi tidak berkata apapun selain terus menepuk-nepuk pundak ibu Yovino.

        Jenazah Yovino tetap dimakamkan di Indonesia. Aku dengar itu semua atas permintaan Ayahnya. Entahlah itu ayah tirinya atau ayah kandungnya, yang jelas hubungan mereka sepertinya tidak terlalu baik. Jelas terlihat, karena hanya ada dua keluarganya yang datang, sisanya adalah teman dari kerabat dan sahabat Yovino dari Club basket—mereka tidak menangis deras, hanya mengeluarkan air mata sambil berdoa. Wajah mereka terlihat tidak terkejut atas kematian Yovino, mungkin mereka sudah mengetahui tentang penyakitnya. Sayang, andai aku mengetahui dari awal.

        Setelah sekitar satu jam lamanya aku menemani dua wanita yang masih betah memandangi makam Yovino, aku berniat untuk pamit pulang. Tapi ketika yang ku duga ibunya itu menoleh, aku mengurungkan niat ku.

      Wanita itu mendekat. Wajah yang memaksa sebuah senyuman tipis walau sudah merah dan basah karena air mata. Dia menatapku lama, seperti sudah tahu siapa aku.

       "Kamu Rose, kan? Roseanne Eustachia?"

      Seharusnya aku tidak kaget. Yovino pasti sedikit bercerita tentang ku. "Ya, tante?"

       "Jadi benar kamu," dia tersenyum. Lalu dengan susah payah merongoh kantong blazer hitamnya. "Ini, sepertinya Vino meninggalkan ini untuk kamu."

      "Untuk saya?"

     Dia mengangguk. "Vino tidak pernah bercerita apapun tentang gadis yang dia sukai. Dari dulu, bahkan dia tidak peduli dengan apapun. Dia hanya tahu cara bersenang-senang dan menghabiskan uang sebagai tanda pemberontakan pada saya dan Papanya."

     Kali ini aku terkejut. Seorang Yovino suka menghabiskan uang? Ah, benar ... Mobilnya juga sangat mewah.

       "Saya salah membesarkannya. Membiarkan dia untuk tinggal sendiri dirumah sebesar itu, saya kira akan membuatnya merasa senang. Tapi saya tidak sadar, dia melakukan itu karena sudah terlalu membenci saya dan Papanya. Mungkin dia muak selalu mendengar perdebatan kami. Ini salah kami juga, seharusnya kami mengerti perasaannya."

       Seharusnya aku juga mengerti perasaannya dari awal. Seseorang yang terlihat begitu tenang dan ceria, lebih banyak menyembunyikan luka untuk dirinya sendiri.

       "Tapi setelah saya tahu dia menyukai kamu, dia sedikit berubah. Yang tadinya tidak ingin mengangkat telepon sama sekali, mulai mau bicara lagi dengan kami." Wanita itu menangis lagi. "Yang tadinya tidak ingin meminum obatnya, mulai mau meminumnya lagi. Bahkan, ketika saya melarangnya bermain basket, dia mulai menguranginya. Saya kira, saya berhasil merubahnya ... Tapi setelah saya diam-diam datang ke tempat tinggalnya sendiri, saya dibuat kaget. Itu semua bukan karena saya, tapi karena kamu."

Choco GranuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang