Spesial Chapter: Puncak Kebahagiaan

361 26 5
                                    

"Itu artinya, aku juga cinta sama kamu, Rei."

.
.
.
.
.

Author POV—

                Sebulan setelah kematian Yovino, sebulan kemudian juga kegiatan ngampus dimulai kembali setelah libur semester. Tidak banyak perubahan terjadi selain berita kematian Yovino gempar beberapa minggu lalu. Pasalnya, tidak pernah ada yang menduga dan mengetahui hal itu akan terjadi— Yovino terkenal mahasiswa yang humble dan easy going, siapa yang menyangka ia ternyata menyembunyikan penyakitnya selama ini?

        Cukup banyak yang mengetahui tentang kedekatan Rose dan Yovino. Beberapa orang bahkan pernah menanyakan Rose tentang apa yang sebenarnya terjadi, karena mereka tidak percaya Yovino sakit. Rose tidak dapat melakukan apapun selain tersenyum, dan pergi—meninggalkan tanda tanya besar di benak mereka.

        Kini, usai kelas terakhirnya, Rose duduk di tribun lapangan indoor. Menatap kosong ke depan, tidak mempedulikan suara teriakkan, decitan sepatu, atau dentuman bola basket yang di mainkan oleh beberapa orang di sana. Pikirannya melayang kepada momen di mana Yovino pernah menaksanya untuk menemaninya sparing. Hati Rose terasa nyeri. Sebulan telah berlalu, tapi ia tidak juga melupakan setiap momen yang dilewatinya bersama Yovino.

         Entah kenapa Daniel juga seperti memberikan waktu untuk Rose menangkan diri. Pria itu hanya sesekali berpapasan dengan Rose— tersenyum, melambai, kemudian kembali berjalan bersama teman-temannya. Ah ya, sekarang Daniel sudah sangat akrab dengan Josen dan anak-anak the one. Bukan karena ia menjadi bagian dari mereka, tapi sepertinya, mereka memutuskan untuk berdamai. Karena itu juga, ia sering melihat Josen tersenyum padanya—jenis senyum sendu dan iba. Entah kenapa Rose tidak suka itu, ia tidak perlu dikasihani. Bella, Clara, Gilang, Seth dan teman-teman Josen yang lain hanya meliriknya dan beberapa tersenyum tipis kecuali Bella dan Clara.

      "Rose?"

      Rose terbangun dari lamunanya, ia menoleh. Mendapati dua orang pria yang tadi sedang bermain basket di tengah lapangan sana. Yang satu terlihat lebih tinggi dari yang satunya. Tapi mereka sama-sama tampan. Rose tahu, mereka ini teman-teman Club basketnya Yovino— jadi pasti mereka adalah senior Rose.

      "Ya, kak?"

      "Boleh kita duduk di sini?"

      Rose mengedip bingung, tapi setelahnya ia menggeser tubuhnya dan mempersilahkan mereka untuk duduk.

       "Nama gue, Matthew." kata seseorang yang lebih tinggi. "Dan ini Julian Kris, lebih akrab dipanggil Jeykey atau Jeka."

       Rose tersenyum pada mereka. "Aku tebak, kalian pasti udah tahu namaku. Apa aku masih harus memperkenalkan diri?" canda Rose. Mereka tertawa pelan.

      "Nggak, nggak perlu. Nama lo selalu terukir di setiap foto yang ada di rumahnya Vino." kata Matthew.

      Rose menyerngit heran. "Foto di rumahnya?"

     "Lo belum datang ke rumahnya?" Jeka malah balik bertanya. Sedikit terkejut. Rose hanya menggeleng pelan. "Kalau gitu, lo harus segera ke sana. Lo dapat kuncinya kan dari Vino?"

      Seperti gadis bodoh yang tidak tahu apapun, Rose hanya bisa mengangguk. Dia pria itu menghela napas pelan. "Vino sering cerita tentang lo." kata Matthew.

      "Yah, dia juga selalu bikin alasan untuk nggak ikut main basket. Dan setiap alasannya, selalu ada nama lo." tambah Jeka.

       Rose menunduk. Menatapi sepatu putihnya. Entah kenapa matanya memanas. Teringat perkataan ibunda Yovino, tentang pria itu yang mengurangi itensitas bermain basket karena dirinya. Entah kenapa, ia malah jadi merasa bersalah. Waktu yang seharusnya menjadi kebersamaan dengan teman-temannya, ia renggut begitu saja.

Choco GranuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang