25. Menyerah Atau Bertahan

157 26 10
                                    

Seperti Tuhan sudah melarang mereka untuk bersama sejak awal. Seperti semesta tidak mengizinkan mereka untuk bahagia.

.
.
.
.
.

               Dua hari kemudian. Rose disibukan dengan perlengkapan yang akan ia bawa untuk liburan selama dua minggu di Venesia. Sebagaimana seorang perempuan yang memiliki banyak aksesoris dibanding pria, Rose sampai membutuhkan dua koper besar hanya untuk outfit dan baju tidurnya. Ditambah, ia menenteng sebuah tas berukuran sedang, berisi alat kecantikan dan juga benda elektroniknya.

      Edgar yang sedari tadi sudah selesai mempersiapkan perlengkapannya, hanya menggeleng-geleng ketika melihat kamar Rose berantakan akibat ulah adiknya itu.

       "Dek, kamu yakin bawa semua itu?"

       "Why?"

      "Abang nggak mau ya nyeret koper kamu. Kenapa nggak beli baju aja disana? Emang kamu nggak perlu satu koper kosong untuk barang-barang jastip teman-teman kamu?" Edgar dengan santai merebahkan tubuhnya diatas kasur empuk kamar Rose, sambil matanya terus mengikuti Rose yang mondar mandir.

      "Teman-temanku bukan orang yang suka nitip-nitip barang. Mereka mampu beli sendiri dengan datang langsung ke negaranya. Emangnya teman-teman abang!"

       "Dasar tukang pamer." Edgar melempar bantal berbentuk awan kearah Rose.

         Ponsel pintar Rose berbunyi. Karena kebetulan ada disebelah Edgar, pria itu merampas benda pipih itu cepat sebelum Rose hendak mengambilnya.

      "Abang!!!"

      Daniel calling ...

       "Siapa Daniel?"

      "Ish, balikin!"

      "Yang pernah antar kamu pulang pakai motor itu ya?" Edgar masih belum puas menjahili adik bungsunya.

     Rose cemberut, tanpa menjawab pertanyaan Edgar, ia melompat ke atas kasur dan mengambil ponselnya dari tangan Edgar.

       "Hallo?"

       "Tumben lama angkatnya?"

       Rose memutar bola mata jengah. "Emang lo siapa, yang teleponnya harus gue angkat cepet-cepet?" ketus Rose.

       "Tempo lalu gue nggak jalan kok sama Jelita. Nggak usah cemburu gitu."

       "Ya, gue nggak peduli tuh. Lo kali yang cemburu gue balik sama Yovin."

         "Gue nggak tuh."

         "Halah, nggak usah bohong. Mata-mata gue banyak, tahu!"

         "Okey, terserah. Tapi gue nggak cemburu."

         "Yaudah! Terus ngapain nelepon, hah?!"

        "Mau ngajak jadi patner buat ulang tahun Dave. Lo mau? Acaranya hari ini, jam tujuh."

        "Ajak Jelita aja. Gue sibuk!"

       "Kapan lagi coba gue ngajak lo jadi couple gue sehari?"

       Rose mengigit bibirnya ragu. Besok pagi ia harus terbang ke Venesia. Kalau hari ini ia pulang malam, bisa-bisa Edgar memarahinya. Fyi, Rose tidak bisa bangun pagi kalau begadang malamnya.

       "Sebenernya, besok gue ke Venesia. Pagi, jam enam. Kalau gue ikut acara Dave, gue bisa dimarahin sama—"

      "Pergi aja sana. Masa ajakan date ditolak sih?" Edgar yang sedari tadi ternyata menguping, menimpali. Rose melirik abangnya sekilas, pria itu tersenyum menggodanya. Rose hanya komat-kamit menyumpahi Edgar yang bicara terlalu keras.

Choco GranuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang