"Izinkan gue jadi orang itu. Orang yang bisa merubah semuanya dalam hidup lo. Semua yang usang, menjadi yang baru."
.
.
.
.
.Masih Point Of Viewnya Rose
Aku segera turun dari mobil sport milik Yovin setelah sampai di depan rumah. Pria yang memaksa ingin mengantarku pulang dengan alasan "kalau liburan, gue nggak bisa ketemu lo. ini yang terakhir sebelum liburan panjang." dan aku hanya bisa mengiyakan tanpa ingin berdebat panjang dengannya. Siapa sangka, ternyata cowok yang terlihat cupu tapi tampan ini pakai mobil sportnya ke kampus. Berbeda dengan mobil yang pertama dia bawa saat memberikan kejutan konyol hampir tengah malam saat ulang tahunku. Dia selalu bisa membuatku terkejut.
"Thanks, Yo."
Aku melihat dia memutari mobilnya, dan berjalan mendekat kearahku. Kamera yang selalu ia bawa disimpan di kursinya.
"Apa lagi? Jangan-jangan mau mampir ya lo? nggak! Mama nggak ada dirumah, nanti lo macem-macem!"
Pria itu mendecak kesal. "Heh, siapa juga yang napsu sama lo! Hih, nenek sihir yang sayangnya emang cantik sih." Aku refleks menjitak kepalanya, walau harus sedikit berjinjit.
"Heh! Nggak sopan ya sama yang lebih tua!"
"Hah? Emang lo semester berapa deh?"
"Semester akhir. Lagi skripsi nih!" mukanya berubah seperti pura-pura ngambek. Tapi aku tidak bisa berekspresi apapun selain diam karena ... tercengang.
Semester akhir?! Dia senior?! Kenapa aku tidak tahu? Astaga.
Ah benar, selama ini aku memang tidak tahu apapun tentang Yovino— atau aku panggil dia kak Yo? Kalau dipikir-pikir ia tahu banyak tentangku, seperti alamat rumahku, tiga sahabatku, fakultas dan jurusanku, bahkan jadwal kelasku. Sedangkan aku? Apa yang aku tahu? Tidak ada, selain nama dan hobinya; main basket dan memotret.
"Nggak usah kaget. Mending ngobrol di dalem yuk? Gue haus juga nih."
Aku tidak bisa melakukan apapun selain mengangguk patah-patah, dan berakhir dia yang malah menarik tanganku masuk kedalam rumah setelah Bibi membuka pintu utama, HEI! siapa yang tuan rumah, dan siapa yang tamu disini? Kami masuk kedalam, dan seperti hafal, dia menuntunku berjalan menuju dapur. Kemudian kami duduk di kursi pantry.
"Ja—jadi ... lo, maksud gue, kak Yo—"
"Panggil seperti biasa lo panggil gue aja. Gue lebih nyaman sama yang itu." lagi-lagi aku hanya mengangguk. Dia mengkode dengan matanya, menunjuk kearah kulkas. Tersadar, aku segera mengambil air mineral dingin dan menuangkannya.
"Jadi ... Kenapa selama ini gue nggak tau?"
"Karena lo nggak nanya, Rose." benar juga.
"Tapi, Yo. Lo bisa tuh ngasih tau gue, kayak lo yang waktu itu dengan santainya ngenalin diri lo."
Dia dengan santai mengambil toples wafer dimeja pantry, lalu memakan isinya. "Waktu itu kan lo keliatan lagi banyak masalah, masa gue tiba-tiba pidato tentang biodata gue?"
"Em, maksudnya ... kita udah ketemu secara nggak sengaja sebanyak empat kali."
"Pertemuan ketiga, lo inget? Pas kita nonton tari tradisional itu. Gue kan bilang, kalau gue tertarik sama lo."
Kenapa aku merasa, ini tidak ada hubungannya ya? Atau aku saja yang tidak menangkap maksud ucapannya? "Jadi ...?"
"Buat apa gue nyerocos panjang lebar tentang diri gue kalau lo nggak tertarik balik sama gue, kan? Awalnya sih, gue berharap lo cari tahu sendiri. Tapi ternyata lo sama sekali nggak peduli." dia tertawa pelan, terus mengunyah wafernya. Ada kilatan sedih melintas dimatanya, hanya beberapa detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choco Granule
Ficção AdolescenteHidup ku gelap. Banyak masa dimana aku mengalami kesepian. Hidupku pahit, seperti Cappuccino tanpa gula. Sedangkan hidupnya? Baik-baik saja. Hampir berjalan mulus. Hampir, karena mungkin aku sudah menjadi sedikit noda dalam hidupnya Kalau aku Cappuc...