Masih Point Of Viewnya Rose ya :)
.
.
.
.
.Setelah makan, kami memutuskan langsung pulang. Aku melirik ke arah jam dipergelangan tangan kiri ku. Masih jam empat sore. Mama udah pulang belum ya?
Aku meminta Sari dan Zani menungguku, karena Lena sudah pulang dijemput oleh supirnya. Aku menelepon Mama.
"Hallo, Ma."
"Iya, sayang?"
"Mama udah sampai mana? Acaraku udah beres." kataku, melirik lagi ke arah jam.
"Wah, Mama masih nunggu Papa mu nih, baru turun pesawat." aku menghela nafas. Pasti Mama pulang malam deh.
"Yaudah deh. Bye Ma." Aku memutus sambungan telepon dan menatap ke arah Sari dan Zani.
"Gimana?" Zani bertanya padaku.
Aku menghela nafas lagi kemudian berkata, "Mama gabisa jemput."
"Duh, Ce. Gimana dong? Gue bareng Riky." kata Sari. Oh iya, mereka kan pacaran, pasti pulang bareng.
Lalu saat aku menoleh pada Zani, ia tersenyum bersalah padaku. Ternyata Zani tiba-tiba ditelepon oleh Kakaknya, dan berkata akan dijemput.
"Lo ... Sendiri gapapa, Ce?" mau bagaimana lagi?
Akhirnya aku mengangguk. Mereka sama-sama melambai padaku, dan aku benar-benar sendiri di tempat parkiran seperti ini.
Dua motor lewat dihadapanku. Aku kira mereka mau pamit padaku, tapi motor Josen dan Daniel berhenti di depanku.
"Eh, Ce. Lo ga dijemput?" kata Josen, aku menggeleng. Aku melirik ke arah Daniel, berharap dia menawarkan diri untuk mengantarku.
"Rumah lo dimana?"
Aku menyebutkan alamatku. Kemudian Josen memberikan helm nya. Aku diam beberapa detik karena tidak mengerti.
"Lo ... Mau nganter gue balik?" kataku, melirik ke arah Daniel yang sudah siap untuk pergi, lalu kembali menghadap pada Josen.
"Iya. Kebetulan gue tau daerah itu." kemudian aku mengangguk dan segera naik dibelakang Josen. Daniel sudah melaju di depan kami. Huh, apa dia cemburu? Ah, aku kepedean banget deh.
Selama diperjalanan, aku hanya diam. Memutar kembali wajah Daniel yang terlihat datar dan tampaknya tidak masalah ketika Josen—sahabatnya, berniat mengantarku pulang. Apasih yang aku harapkan?
"Kapan lo putus sama Daniel, Ce? Kok gue gatau?"
Tanya Josen pada akhirnya, mungkin karena merasa muak dengan keheningan kami.
"Hm?" tadi dia tanya apa ya? "Oh, tahun lalu." oh ya. Kapan aku putus dengan Daniel. Yap, tahun lalu.
"Gue aja gatau kapan lo pacarannya sama dia. Udah putus aja." Kata Josen. Dia tertawa, aku bisa melihatnya lewat spion, karena dia melirik kearahku juga.
"Hehehe." aku hanya bisa memberikan tawa hambar. Tapi Josen tidak tau. Syukurlah.
"Kalian pacaran diem-dieman atau gimana sih?"
"Hm? Enggak kok. Mungkin karena gue sama Daniel ga begitu populer kayak lo, Sen." aku tersenyum padanya.
"Iyasih, kalian sama-sama diem. Mungkin putus karena hubungannya terlalu hambar kali ya."
Aku tau itu bukan pertanyaan, tapi tebakkan. Aku hanya tersenyum tipis karena tidak tau harus menjawab apa.
"Eh sorry, gue jadi terlalu kepo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Choco Granule
Teen FictionHidup ku gelap. Banyak masa dimana aku mengalami kesepian. Hidupku pahit, seperti Cappuccino tanpa gula. Sedangkan hidupnya? Baik-baik saja. Hampir berjalan mulus. Hampir, karena mungkin aku sudah menjadi sedikit noda dalam hidupnya Kalau aku Cappuc...