13. Bodoh dan Brengsek

233 32 3
                                    

Rose

          Hari ini berjalan seperti biasa. Bahkan terlalu hambar. Yah, apalagi yang bisa aku lakukan? Sebelumnya, kupikir, aku bisa kembali bersama Daniel dan membalas semua kebaikannya selama ini. Tapi harapan itu juga sudah tidak ku miliki.

      Semalam, Josen tidak seperti biasanya. Kalau biasanya dia akan menelepon setiap malam hanya untuk menanyakan jadwal ku esok harinya, atau sekedar mengirim pesan mengucapkan selamat malam, tadi malam dia tidak melakukan keduanya. Tidak ada kabar, dan juga ya ... terserah. Dia memang bukan siapa-siapa, kami tidak memiliki hubungan apapun. Tapi, ku kira dia akan membantuku keluar dari zona gagal move on ini. Ternyata tidak.

       Kampus hari ini membosankan. Semua Dosen masuk sesuai jadwal, padahal aku berharap beberapa dosen akan absen saja, agar aku bisa santai sedikit.

     Dan sekarang, aku duduk di Cafetaria FBS, sendirian. Tanpa Violin dan Larensa. Kelas mereka berdua hari ini hanya sampai jam satu siang, lalu lanjut dengan kegiatan UKM mereka. Wajar, kami sudah semester empat, maka akan semakin sibuk. Kegiatan UKM hanya sampai semester lima, setelah itu kami di wajibkan untuk fokus pada penjurusan.

     Aku pikir berdiam diri di Cafetaria akan membuat suasana membaik, atau setidaknya aku mendapatkan inspirasi untuk menulis puisiku yang—tadinya, akan ku kirimkan tanggal 31 nanti.

       "Jauhi Josen."

     Demi apapun, ku pikir dengan aku meletakan kepala diatas meja, dan memejamkan mata sejenak, aku bisa melupakan semua beban ini. Tapi suara itu datang, dan kembali membuat otakku penuh.

       Aku mengangkat kepala, dan melihat Daniel sudah duduk didepanku, sambil terus mengotak-atik rubiknya.

       "Ada masalah?"

      Dia meletakkan rubiknya yang sudah tersusun rapi diatas meja, kemudian menatapku dengan serius.

      "Nggak. Gue cuma kasih saran ke elo aja. Jauhi dia."

     "Ow, gue pikir dengan kita putus beberapa bulan lalu, lo nggak bisa mengatur gue lagi?"

      "Terserah. Gue cuma berniat baik." Daniel bangkit, kemudian membawa rubik itu bersamanya.

     Tanpa kata apapun lagi. Hah! Memangnya siapa dia berani memerintahku? Jauhi Josen? Kenapa? Dia cemburu?!

      Ah, aku hampir lupa. Dia tidak cemburu, dia hanya ingin temannya yang sekarang tidak dekat-dekat denganku, begitu? Oh Daniel, sebesar itu rasa benci kamu sama aku?

      "Hei! Lo nggak bisa seenaknya memerintah gue lagi tanpa ngasih alasan." aku mengejarnya, tidak mau pikiranku menjadi kacau hanya karena tidak mengerti apa yang diinginkan seorang Daniel.

      Dia tidak berhenti berjalan, akhirnya aku berlari, dan menghadang langkahnya. "Tell me. Ada apa?" tanya ku, berusaha membuat dia percaya bahwa aku benar-benar serius ingin tahu.

       "Dia nggak baik, lo tau itu."

      "Lo pikir, lo baik?" Daniel menatapku lama setelah aku berkata demikian.

      "Jadi menurut lo, gue jahat?"

      "Entah ya. Awalnya gue pikir, lo baik sampai rasanya terlalu baik buat gue. Tapi setelah gue liat lagi, dan dipikir matang-matang ... lo brengsek."

       "Kalau gitu, jauhi semua teman gue yang sama brengseknya dengan gue. Jauhi Josen."

      Astaga Daniel. Sesenang-senangnya aku mendengar kamu sadar diri dan mengaku brengsek, tapi aku tetep nggak suka kamu nge-cap orang lain brengsek, apalagi dia baik sama aku.

Choco GranuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang