21. Rasa Yang Tak Terucap

166 28 16
                                    

"... Karena lidah bisa berbohong,
tapi hati enggak, Rei."

.
.
.
.
.


September, 2018
Saat Rose dan Daniel masih pacaran.


          "Hari ini kamu nggak usah ke kampus."

      Rose mengangkat kepala, menatap kearah sang ibunda dengan bibir pout. "Kenapa, Ma?" rajuknya.

      "Kamu mau sekarat dan nantinya nggak ada yang nolongin kamu?" Reline bicara tanpa menatap kearah Rose—fokus memotong dagingnya, Rose hanya menunduk, kembali melanjutkan sarapannya.

      "Tapi Ma, Dokter bilang kelenjarku nggak parah kok. Masih jinak dan nggak harus di operasi."

      Di meja hanya ada mereka berdua, sang Papa—Hendry, masih berada di luar Negeri mengurus cabang perusahaan, sedangkan kakaknya, Edgar sedang magang disalah satu rumah sakit yang berada di Sydney, Australia.

        "Mama tau kamu suka sekali belajar, tapi kamu lagi sakit. Mama nggak mau sakit kamu malah makin parah walau Dokter nggak melarang kamu."

      "Tapi aku bosen dirumah, Ma. Apalagi nanti Mama pergi kerja. Aku sendirian." Rose menggeser piringnya, sudah tidak berselera.

      "Suruh Vio dan Rensa jenguk kamu. Clear, kan?"

      Rose tidak bisa berkata apapun lagi, ia hanya mendesah kesal, setelahnya meneguk minuman sampai tandas dan bangkit, kembali menuju kamarnya.

— • —

     Selama berada dirumah, Rose tidak banyak melakukan aktivitas. Ia hanya menonton Marvel Series berjam-jam, berganti dari super hero yang satu ke super hero lain. Karena masih merasa bosan, Rose memutuskan untuk memasak sesuatu.

      Rose membuka kulkas, banyak bahan yang Rose tidak tau bagaimana cara mengolahnya. Kecuali beberapa sayuran. Rose melirik ke meja pantry, dan ia bersyukur melihat roti tawar disana.

      Rose menyiapkan alat pembakar roti, bumbu-bumbu yang akan ia gunakan, telur, dan beberapa jenis sayuran. Rose memotong mentimum, tomat, dan selada, lalu mengocoknya bersamaan dengan telur. Ia tidak lupa menambahkan beberapa potong sosis.

      Kemudian ia berjalan ke meja pantry lalu mengolesi roti dengan mentega. Setelah dirasa cukup, roti itu ia isi dengan bahan yang sudah ia satukan tadi—sudah dibumbui, lalu dengan telaten memasukannya kedalam alat bakaran.

        Rose menyetel lagu-lagu kesukaannya. Ia bernyanyi dan melompat-lompat mengikuti alunan musik yang meriah dan memang memiliki magnet untuk mengajak siapapun yang mendengarnya ikut menari. Setelah alat pembakar berbunyi, Rose menghentikan kegiatannya melompat-lompat, dan segera duduk di kursi pantry untuk memakan roti bakarnya.

        Lagu berganti dengan suara dering ponselnya yang nyaring. Sebelah tangannya yang bebas mengambil ponsel dan sebelahnya lagi ia gunakan untuk melahap roti bakar yang terasa begitu nikmat.

       "Halo?" suaranya sedikit aneh karena mulutnya penuh dengan roti bakar.

       "Oce? Kamu lagi ngapain?"

       "Hm, aku lagi makan. Kenapa, Vi?"

      "Kamu baik-baik aja?"

Choco GranuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang