Jumat malam, mentari sudah sepenuhnya pergi setelah seharian malu-malu menampakkan diri. Langit hitam pekat, tak ada bintang yang terlihat, tertutup awan gelap yang menyelimuti langit Jakarta. Ribuan kubik air hujan sudah tumpah membasahi bumi sejak siang. Tak kunjung reda.
Aku dan Fadil meringkuk berdua di depan lobi kantor, menunggu hujan itu berhenti. Tidak masalah semalam apapun, toh besok libur. Yang terpenting, aku bersamanya.
Satu jam berlalu, ketika hujan akhirnya berhenti. Kami bergegas menuju area parkir motor.
"Lapar ya?" Ucap Fadil sebelum menyalakan motornya. Itu terdengar seperti sebuah pertanyaan dan pernyataan bagiku.
"Mau makan dulu di jalan?" Ucapku. Aku lalu gagal mengidentifikasi ucapanku sendiri. Entah itu sebuah pertanyaan atau permintaan.
Kami akhirnya memutuskan untuk berhenti di sebuah lapak Soto Tangkar di pinggir jalan. Setengah jam kemudian, setelah melahap habis makanan yang kami pesan, kami melanjutkan perjalanan pulang.
Dua puluh meter sebelum sampai di gapura komplek perumahanku, hujan lebat sekonyong-konyong kembali turun. Kami tidak sempat menyelamatkan diri dari guyuran air itu.
"Ke rumahku dulu aja berteduh, Dil." Ucapku setengah berteriak agar terdengar olehnya.
"Oke, Tom." Ucap Fadil terdengar samar.
Kami sampai di rumahku yang dalam kondisi gelap total, tak ada satupun lampu yang menyala. Terang saja, kedua orangtuaku sedang pergi ke Surabaya untuk menghadiri pesta pernikahan anak sahabat ayahku waktu di SMA dulu. Kakak perempuanku satu-satunya pun, sudah tidak di tinggal bersama kami lagi semenjak dua tahun yang lalu. Sudah diboyong suaminya ke Bandung.
Aku menyerahkan handuk, dan satu stel pakaian ganti pada Fadil yang sudah basah kuyup. Tentu saja, lengkap dengan celana dalam baru yang belum pernah aku pakai. "Tidur di sini saja, Dil." Ucapku. Ralat. Pintuku.
"Sepertinya tidak akan berhenti sampai besok pagi."
Hujan di luar sana semakin deras mengucur.
Fadil menatap jam tangannya, lalu mengangguk.
"Mandi dulu saja. Kamar mandi sebelah sana."
Lima belas menit berselang, Fadil ke luar dari kamar mandi, dan sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian ganti yang tadi aku serahkan.
Aku lalu masuk ke dalam kamar mandi. Aku mengguyur tubuhku dengan air hangat dari shower.
Selesai mandi, aku mengajak Fadil masuk ke dalam kamarku. "Kamu tidur di sini saja. Aku bisa tidur di kamar kakakku." Ucapku.
"Kamu jadi terpaksa mengungsi gara-gara aku." Ucapnya.
Aku menggeleng, sambil tersenyum padanya. "Tidak apa-apa."
Aku sudah bergerak menuju pintu kamar, ketika Fadil bersuara kembali. "Sudah mau tidur saja? Baru juga jam sebelas." Ucapnya.
Aku memutar badan, dan melihat ke arahnya.
Fadil tampak tersenyum, dan mengarahkan pandangannya bergantian pada ku dan pada dua buah stick play station yang tergeletak di samping TV.
Aku langsung paham maksudnya. "Sudah siap kalah?" Ucapku congkak.
"Kita lihat saja nanti."
"Fifa 16?" Ucapku.
"Siapa takut."
Aku segera mengambil kaset PS, dan memasukan ke dalam perangkatnya. Sebuah laga El Clasico antara Barcelona dan Real Madrid segera berlangsung. Aku memainkan Barcelona, dan Fadil memainkan Real Madrid.
Satu jam lebih berlalu. Kami sudah memainkan beberapa kali laga, dan saling menyusul kemenangan. Fadil menyudahi game terakhir dengan kemenangannya.
"Gimana?" Tanya Fadil. Dia mengangkat bahunya.
"Lumayan." Ucapku.
Dia tersenyum.
Kami akhirnya menyudahi permainan karena sudah sama-sama mengantuk. Aku hendak bangkit dari tempat tidurku, ketika suara Fadil menahanku.
"Tidur di sini aja, muat kok untuk berdua." Ucapnya.
Aku mengangguk.
"Aku matikan lampu dulu." Aku bangkit dari kasur, dan menuju ke sakelar yang berada tepat di sebelah pintu kamar.
Lampu padam, namun tidak sepenuhnya gelap. Remang cahaya lampu taman di luar sana menembus jendela kamarku. Aku masih bisa melihat Fadil yang sudah berbaring di kasurku. Dia tampak menggeser tubuhnya sedikit ke arah dinding untuk memberikan space yang cukup untukku.
Aku mendekat ke kasur, dan sejurus kemudian sudah mendapati tubuhku berada tepat di sebelahnya. Kami saling berbagi selimut yang sama. Dengan jarak sedekat itu aku dapat merasakan hangat suhu tubuhnya menjalar hingga ke kulitku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tommy & Fadil (Completed)
Romance(Ceritanya Udah Tamat ya) Tommy menyimpan perasaan pada seorang teman prianya bernama Fadil. Perasaan itu sudah dia jaga sejak pertama kali bertemu di hari pertama ospek. Empat tahun masa kuliah nyatanya tidak pernah mendekatkan mereka. Hingga akhir...