The moment of truth. Hari ketika aku harus merelakan sebuah kenyataan. Bukan kenyataan manis, atau pun kenyataan pahit. Hanya sebuah kenyataan bahwa aku berbeda. Empat tahun telah berlalu sejak pertama kali aku mengenalnya. Empat tahun telah aku buktikan jawabanku sendiri, bahwa aku bisa mencintainya diam-diam.
Hari itu seusai mengurus kelengkapan wisuda, Aku bersama teman-teman satu angkatan yang wisuda bersama, termasuk Fadil tentu saja, memutuskan untuk makan siang di sebuah kantin di belakang gedung rektorat.
Setelah memesan menu makan siang, aku dan Fadil bergerak ke sebuah meja kosong di sudut kantin. Teman-teman yang lain masih berada di depan kasir untuk memilih menu.
"Habis ini mau ke mana, Tom?" Tanya Fadil.
Aku menjatuhkan pantatku pada kursi kayu panjang itu. "Langsung pulang kayaknya, Dil." Jawabku.
"Bukan, maksudku setelah wisuda." Jelas Fadil.
Tentu saja aku mengira kalau pertanyaan itu adalah bridging untuk sebuah ajakan ke suatu tempat sepulang dari kampus. Tentu saja, aku terkadang gagal menempatkan diri dengan waras. Ingin rasa berlari pulang, lalu membenamkan diriku ke bak mandi.
"Oh." Aku tertawa kecil berusaha menyembunyikan kekikukanku.
"Mau lanjut S2?" Tanyanya.
"Ada rencana, tapi mungkin setelah satu atau dua tahun. Sekarang mau cari kerja dulu." Jawabku.
Dia mengangguk.
"Kamu sendiri?"
"Aku rencana mau lanjut S2 ke Jepang." Jawabnya. "Dua bulan lagi pendaftarannya dibuka."
Aku sudah mempersiapkan perpisahan dengannya. Jauh sebelum hari itu, dimulai di semester-semester terakhir dengan jadwal kuliah yang semakin sedikit. Aku sudah bersiap, sedikit demi sedikit mengubur harapanku tentangnya. Seharusnya tidak ada yang perlu aku ratapi dari keputusannya melanjutkan kuliah ke Jepang. Dia di Jakarta ataupun tidak, kami tetap akan sangat jarang bertemu. Paling hanya satu atau dua kali setahun, dalam acara kumpul bersama teman-teman reunian lain.
"Good luck ya, Dil." Ucapku. Getir di hati itu tetap saja terasa.
Acara wisuda di laksanakan esok harinya di ballroom salah satu hotel. Selepas acara, aku bersama teman-teman satu angkatan di Jurusan Manajemen berkumpul sejenak ke salah satu sudut ruangan. Kami membuat foto grup untuk mengabadikan momen indah terakhir ini.
Setelah itu, kami bercengkrama satu sama lain. Sesekali kami mengingat kembali kejadian-kejadian lucu yang dulu pernah kami alami bersama di semester awal. Beberapa teman lalu berinisiatif untuk membuat foto selfie secara bergantian.
Ketika sedang berswafoto, aku sesekali melihat ke arah Fadil. Dia tampak sibuk juga mengambil foto dengan teman-teman lain. Aku benar-benar menantikan giliran kami.
Dan saat itulah, kulihat dia berjalan ke arahku.
"Tom." Ucapnya memanggilku. Fadil lalu mengangkat kamera mirrorless-nya, memberi tanda.
Kami saling merapatkan tubuh ke satu sama lain. Lalu, tanpa aba-aba, Fadil merentangkan tangannya di pundakku.
Aliran listrik tegangan tinggi, langsung menjalar ke sekujur tubuhku. Aku berusaha keras mengendalikan diri.
Aku tersenyum lebar menghadap kamera, setelah dia memberi tanda akan menekan tombol shutter. Semoga dia tidak menangkap kegugupan dari balik senyum terpaksa itu.
"Nanti aku kirim ke email fotonya ya, supaya resolusinya bagus." Ucapnya.
Aku mengangguk.
"See you again." Ucapnya, yang tidak berhasil aku jawab.
Dia lalu berjalan mengampiri kekasihnya yang sudah menunggu sedari tadi.
Aku tidak melepaskan pandanganku darinya, sampai Fadil menghilang ditelan pintu ballroom. Seperti yang sudah kuduga, itulah kali terakhirnya kami bertemu. Beberapa bulan kemudian, yang aku dengar hanyalah kabar bahwa dia sudah terbang jauh ke sana, mengejar ilmu ke negeri sakura.
***
Entah berapa kali aku memutar ulang video Insta Story itu sampai akhirnya aku bisa menguasi diriku kembali. Aku segera menyimpan ponselku di dalam saku celana. Tidur mungkin satu-satunya cara untuk melupakan dia barang sejenak. Halte tujuanku masih jauh. Bus yang aku tumpangi ini bahkan belum sampai di halte ke dua setelah Harmoni.
Aku menyandarkan kepalaku pada sandaran kursi, lalu memejam mata. Belum juga terlelap aku sudah dikagetkan oleh getaran ponsel di satu celana. Dari skala getarannya aku bisa merasakan kalau itu mungkin sebuah pesan whatsapp. Dengan malas-malasan aku kembali membuka mata, lalu mengeluarkan ponselku.
Imron, teman kuliah serta pemilik akun Instagram yang tadi Insta Storynya berulang kali aku lihat, mengirim pesan di grup reunian kampus. Sebuah pesan yang seketika mengubah suasana hatiku. Fadil sudah di Jakarta. Ngumpul Yuk.
Asyik. Balas Ajeng. Kapan?"
Kalau sabtu ini, aku bisa. Balas seorang teman lainnya.
Aku segera membalas. Sabtu ini aku juga bisa.
Fadil tampak sedang mengitik sesuatu. Oke sabtu ini ya teman-teman. Balasnya tepat satu baris di bawahku. Harus datang ya.
Tentu saja aku akan datang. Setelah tiga tahun, akhirnya kami akan bertemu kembali.
![](https://img.wattpad.com/cover/177513777-288-k480832.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tommy & Fadil (Completed)
Romansa(Ceritanya Udah Tamat ya) Tommy menyimpan perasaan pada seorang teman prianya bernama Fadil. Perasaan itu sudah dia jaga sejak pertama kali bertemu di hari pertama ospek. Empat tahun masa kuliah nyatanya tidak pernah mendekatkan mereka. Hingga akhir...