Lima

3.9K 170 0
                                    

Notifikasi pesan di ponselku berbunyi lima belas menit yang lalu, namun aku abaikan saja. Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum makan siang. Selepas mengirim tugas itu pada atasanku via email, aku segera memeriksa ponsel.

Ternyata itu pesan Whatsapp pribadi dari Fadil. Sudah lama sekali dia tidak mengirim pesan padaku. Pesan terakhir darinya adalah saat dia mengabariku bahwa dia sudah mengirim file foto kami berdua ketika wisuda dulu melalui email. Setelah itu, tidak ada lagi kabar darinya. Aku tertinggal di masa lalunya sebagai teman kampus, dan aku tertatih-tatih berusaha melupakannya.

Aku lagi di ruangan HRD. Kamu biasa makan siang di mana?

Aku segera membalas pesan itu, dan sedikit berbohong untuk menyelamatkan diri. Maaf baru balas, Dil. Tadi aku lagi meeting. Di Foodcourt basement.

Fadil mengetik lagi. Makan bareng, yuk! Masih anak baru nih. Butuh bimbingan dari senior :D

Aku tersenyum membaca pesannya itu. Aku segera melihat kesekeliling ruangan untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihat ke arahku.

Oke. Jam 12 ya. Balasku

Jam dua belas kurang dua menit, aku segera meninggalkan meja kerja. Kami bertemu di tempat yang sudah kami janjikan, di depan lift basement. Saat pintu lift terbuka, aku segera mendapatinya menunggu di sana. Dia mengenakan baju kemeja lengan panjang berwarna biru, dan celana bahan slim fit yang sama-sama tampak baru.

"Sudah lama?" Tanyaku

Fadil menggeleng. "Baru sampai juga."

Ini masih terasa tak nyata bagiku. Fadil di sini, dan akan satu kantor denganku.

"Jadi di sini apa yang recommended?"

Aku melihat ke sekeliling foodcourt, lalu menunjuk beberapa kios makanan favoritku. "Nasi Padang yang di sana enak, Soto Surabaya itu juga enak. Nah, ayam cabe ijo yang di sana juara."

Atas persuasi dariku, akhirnya kami memutuskan memesan ayam cabe ijo. Bagian dada, lengkap dengan masing-masing satu potong tempe dan tahu goreng.

"Mulai kerja kapan, Dil?" Tanyaku.

Aku menyeruput es teh manis yang aku pesan.

"Besok sudah langsung disuruh masuk. Padahal berharapnya minggu depan saja. Mau menikmati saat-saat terakhir jadi pengangguran dulu."

Aku tersenyum menanggapi candaannya. Lebih cepatkan lebih baik, pikirku. Setidaknya bagiku.

"Kamu masih suka ke kampus setelah lulus?" Tanyanya.

Aku berpikir sejenak. "Terakhir enam bulan yang lalu."

"Ketemu Bu Siti dong?"

Kami berdua langsung tertawa. Bu Siti memang tidak pernah lepas dari pembicaraan para alumni Jurusan Manajemen. Terkenal galak, pelit nilai, dan menjadi nightmare semua mahasiswa.

"Pembimbing utamamu." Ucap Fadil.

Aku tertawa. "Pembimbing utama kamu juga." Balasku.

"Masih ingat kita sering bimbingan bareng, dan menunggu beliau di depan kelas? Bimbingan serasa di sidang."

Aku mengangguk. "Sidang setiap minggu."

Semenjak semester satu di kampus, nyatanya aku dan Fadil tidak pernah dekat. Kami hanya bertemu di kelas, dan melewati hari sebagai teman satu angkatan biasa. Dia punya teman dekatnya sendiri, dan akupun begitu. Itu berlangsung hingga semester-semester akhir, saat itulah keadaan yang mendekatkan kami. Entah kenapa, jadwal bimbingan kami dengan Bu Siti selalu berbarengan. Aku harus berterimakasih pada Bu Siti untuk ini.

"Jadi kenapa kamu bertemu Bu Siti?" Tanyanya.

"Aku minta surat referensi untuk S2."

"Mau lanjut ke mana?" Tanya Fadil. "Di Indonesia atau luar negeri?"

"London" Jawabku.

Seketika itu juga aku gamang menghadapi kenyataan yang ada di depan. Fadil ada di sini sekarang, satu kantor denganku. Sedangkan jika lulus, aku akan segera berangkat dan melepaskan status karyawanku di kantor ini. London adalah mimpiku. Dan Pria ini, dia juga mimpiku.

"Good luck, Tom." Ucap Fadil riang.

Aku tersenyum. Sebuah senyum yang penuh kegetiran.

"Segalak-galaknya Bu Siti, dia selalu setuju dengan pendapatmu." Ucap Fadil.

"Dia lebih sering memulai ucapannya dengan Seperti kata Fadil, bla bla bla." Balasku.

Kami berdua tertawa.

"Kamu tau apa yang Bu Siti ucapkan waktu aku minta surat referensi?"

Fadil mengangkat bahunya.

"Kenapa baru sekarang? Fadil sudah mau lulus, kamu baru mau daftar." Ucapku menirukan ucapan Bu Siti.

Fadil tersenyum menanggapi perkataanku.

Waktu istiraat sudah akan berakhir, aku harus segera kembali ke ruanganku. Fadil juga harus pulang ke rumahnya.

"Kamu naik apa ke kantor?" Tanyanya di depan lift.

"Naik Trans Jakarta, atau kadang-kadang ojek online."

"Bareng aku aja kalau begitu. Kitakan searah. Aku bawa motor." Ucapnya.

Aku menggeleng, tanda basa-basi. "Tidak usah, Dil."

"Tidak apa-apa."

"Kalau gitu, aku tunggu di depan jalan ya. Tidak usah sampai ke rumah."

Fadil mengangguk.

Kami lalu masuk ke dalam lift. Fadil keluar di lantai satu. Dia harus menukarkan name tag dengan KTPnya di pos security. Aku lanjut ke ruanganku di lantai dua.

Aku tidak mengalihkan pandanganku dari punggung Fadil sampai pintu lift tertutup kembali. Apa yang baru saja terjadi merupakan percakapan terpanjang kami selama ini. Aku menunggukan percakapan-percakapan lainnya kedepannya.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang