Sudah berulang kali aku mengitari kamar tidurku yang terasa menyempit ini. Berpindah dari kasur menuju meja belajar, lalu kembali ke kasur, dan berakhir di meja belajar lagi. Halaman word yang sedang aku ketik itu tidak mengalami perubahan sedikitpun semenjak setengah jam silam. Harusnya tidak ada bagian ini. Seharusnya aku bisa menuliskan surat pengunduran diri ini dengan kebahagian penuh.
Aku meraih dompetku yang terletak di atas meja, lalu mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat kecil-kecil dari dalamnya. Itu tulisan berupa mimpi-mimpiku untuk kuliah di London. Kertas yang sempat aku buang beberapa bulan yang lalu, dan kemudian diselamatkan oleh Bagas.
Seketika semangat diriku mengembang kembali. Aku menarik nafas panjang, sebelum meletakkan jemariku di atas keyboard laptop. Surat pengunduran diri dari kantor itu, akhirnya aku selesaikan dengan bersusah payah.
Setelah itu, aku merebahkan diriku di kasur. Aku memasang earphone di kedua telinga. Lantunan petikan sinar gitar yang dimainkan Fadil kembali terdengar. Kubayangkan lagi aku berada di hari itu. Aku hapus semua gambaran orang lain dari ingatanku. Yang ada di tengah aula hanya aku dan dia.
Aku sedang memperhatikan jemari lentiknya memainkan senar gitar yang menghasilkan irama akustik bertempo sedang. Fadil mendekatkan bibirnya ke kepala mic yang berada di depannya. Sejurus kemudian, suaranya terdengar mengalun merdu memenuhi seisi ruangan. Sungguh itu terasa terjadi baru kemarin. Puluhan ribu jam berlalu sejak hari itu, namun tidak sedikitpun memudar dari ingatanku.
Ketika rekaman suaranya berakhir, aku ditarik kembali ke dunia nyata. Di depanku telah menanti kenyataan yang berusaha keras tidak aku pikirkan, bahwa tak lama lagi perpisahan harus kembali terjadi. Setelah semua cerita indah sebulan ini, aku tak diizinkan berlama-lama menikmatinya. Hingga detik ini aku belum kuasa untuk mengabari Fadil tentang kelulusanku itu.
Kini aku sadar bahwa tak ada lagi waktu untuk menunda. Aku berusaha untuk mengenyampingkan ketakutanku sendiri. Mungkin kepergianku sedikit banyak bisa mempengaruhi keputusannya. Namun ada atau tidak kabar ini, jika dia memang tak bisa menerima hatiku, itu tetap akan terjadi. Telah aku putuskan, esok malam aku akan memberitahunya.
***
Keluar dari perusahaan ini berarti berakhir sudah rutinitas baru favoritku. Tidak ada momen pagi berangkat bersama Fadil. Tidak ada lagi makan siang bersama yang terasa begitu singkat. Tidak ada lagi perjalanan pulang kerja yang begitu aku tunggu. Namun ini harus aku lakukan, cepat atau lambat tetap akan terjadi. Setidaknya aku masih punya satu bulan sebelum benar-benar harus berpisah dengan semua ini.
Kertas surat pengunduran diri itu keluar dari mesin printer di sebelahku. Aku membaca lagi kalimat demi kalimat yang kuketik. Lalu setelah yakin semuanya benar, aku bangkit dari kursiku dan berjalan menuju meja kerja atasanku yang berada di sudut ruangan.
"Sedang sibuk, Mbak?"
Mbak Ratih, atasanku, menggeleng sedikit namun tetap fokus dengan monitor kumputernya. "Sebentar ya, Tom. Aku kirim dulu email ini. Bu Amel udah nungguin."
Aku mengangguk, menarik sedikit kursi di depan meja kerjanya, lalu duduk di sana. Aku memposisikan diriku seteguh mungkin pada kursi itu, takut jika tiba-tiba aku kembali gamang, lalu membatalkan niatku untuk mengundurkan diri.
"Kenapa, Tom?" Tanya Mbak Ratih setelah beberapa saat.
Tibalah waktunya.
Aku menyerahkan surat pengunduran diri itu padanya. "Aku mau mengajukan resign, mbak." Ucapku.
Seketika gambaran Fadil, dan gambaran Buckingham Palace datang bergantian memenuhi pikiranku.
"Pindah ke perusahaan lain?" Tanyanya menerima surat dari tanganku.
Aku menggeleng. "Mau kuliah lagi, Mbak."
"London?" Ucapnya sumbringah.
Divisi ini sudah serasa keluarga kedua bagiku. Semua rekan kerjaku tau bahwa aku sedang berusaha untuk melanjutkan studi. Tahun lalu gagal ke Jepang, dan tahun ini mencoba kembali dengan tujuan baru, ke London.
"Iya, mba."
Mba Ratih mengulurkan tangannya padaku. "Congrats, Tom. You did it." Ucapnya.
"Terima kasih, Ibu Bos." Ucapku tersenyum.
Aku bangkit dari kursinya. Ketika aku membalik badan untuk menuju ke meja kerjaku, di belakang sana sudah menunggu rekan-rekan kerjaku yang lain. Tampaknya pembicaraan kami cukup jelas terdengar, sehingga aku tidak perlu untuk menjelaskan kembali. Mereka segera mengampiriku, dan bergantian memberikan selamat.
"Selamat Mas Tom." Ucap Anita.
"Makasih, Nit."
"Lulusnya ke London. Gagal lagi punya teman yang bisa dititipin barang-barang dari Tokyo."
"Jadi nanti tidak mau oleh-oleh dari London?" Tanyaku.
"Kalau oleh-olehnya mau." Ucap anita tertawa.
Saat kami kembali ke meja masing-masing aku langsung teringat sesuatu. Aku belum memberitahu Fadil. Jangan sampai dia tau kabar itu dari Anita. Aku Sendiri yang harus memberitahunya.
"Nit, Jangan kasih tau Fadil dulu ya." Ucapku.
Anita mengangguk. "Oke, Mas."

KAMU SEDANG MEMBACA
Tommy & Fadil (Completed)
Romantiek(Ceritanya Udah Tamat ya) Tommy menyimpan perasaan pada seorang teman prianya bernama Fadil. Perasaan itu sudah dia jaga sejak pertama kali bertemu di hari pertama ospek. Empat tahun masa kuliah nyatanya tidak pernah mendekatkan mereka. Hingga akhir...