Sembilan Belas

2.9K 150 1
                                    

Sepulang dari kebun Apel, kami tidak pernah lagi membahas apa yang baru saja kami bicarakan. Tidak di dalam kamar di malam terakhir kami di penginapan itu. Tidak juga keesokan paginya saat berkeliling kota sebelum mengembalikan motor sewaan itu di Stasiun Malang. Semua kembali seperti sedia kala. Aku memenuhi permintaannya untuk memberinya sedikit waktu.

Kereta yang membawa kami pulang ke Jakarta berangkat dari Stasiun malang lima belas menit sebelum tengah hari. Kami diperkirakan akan mencapai Jakarta keesokan harinya, tepatnya pukul satu dini hari. Tidak banyak yang bisa kami lakukan selama perjalanan panjang itu. Sesekali hanya melihat hasil foto dari kamera Fadil. Kemudian mengobrol tentang rencana liburan kami selanjutnya. Setelah itu hanya terdiam menikmati pemandangan sekitar rel dengan pikiran masing-masing.

Ketika malam menjelang, Fadil memutuskan untuk tidur lebih dulu. Dia sudah harus berkerja lagi esok hari, sementara aku bisa extent waktu tidur dengan mengambil jatah cutiku.

Aku baru benar-benar memutuskan untuk memejamkan mata setelah menguap beberapa kali.

Sekitar pukul sebelas malam, beberapa jam sebelum mencapai Jakarta, aku terbangun. Aku memeriksa ponselku dan mendapati sebuah notifikasi email. Jantungku memompa darah dengan cepat manakala melihat nama pengirim dan subjek email itu. Mimpiku baru saja menjadi kenyataan. Aku diterima untuk melanjutkan studiku di sebuah kampus di Kota London.

Aku hendak membangunkan Fadil untuk memberitahunya kabar gembira itu. Namun ketika aku melihat wajahnya yang tertidur pulas, seketika itu juga ketakutan mengerjapku dengan ganas. Kenyataan baru saja terhampar di depanku, bahwa sebentar lagi kami kembali harus berpisah.

Aku segera menarik kembali niatku untuk membangunkannya. Biar sejenak aku membiasakan diri menghadapi kenyataan ini.

***

Kereta api yang kami tumpangi sampai di Stasiun Jatinegera. Kami sedang berjalan melintasi peron untuk menuju pintu keluar stasiun. Fadil berjalan satu langkah di depanku. Aku mengikutinya sambil menguatkan tekat untuk memberitahunya kabar gembira itu.

Aku sudah membuka email pemberitahuan itu ketika tiba-tiba tanganku terasa kaku. Bibir serasa terkunci. Ketakutan yang lebih besar baru saja menyergapku. Seperti ada tekanan kuat yang memaksaku untuk menunda sampai Fadil memberi jawabannya atas hubungan kami. Jika aku memberitahunya sekarang, mungkin saja hal itu akan membantunya untuk memutuskan ke arah yang tidak aku harapkan.

Di depan stasiun terparkir dua buah taksi kosong. Setelah saling berpamitan, Fadil berjalan menuju taksi yang diparkir di depan.

"Dil." Ucapku memanggilnya kembali.

Fadil membalik badannya. "Ya, Tom?"

"Hati-hati ya."

Dia mengangguk. "Kamu juga ya."

Ketika dia kembali berjalan menuju taksi di depan, saat itu juga aku merasa bersalah karena menyembunyikan kabar sepenting itu darinya.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang