Dua Puluh Sembilan

2.7K 120 0
                                    

Angin musim semi masih berembus kencang di bulan April. Aku mempercepat langkah menuju kamarku. Tidak ada yang lebih aku inginkan saat ini, melainkan semangkuk mi rebus. Masih tersisa beberapa bungkus lagi, dari satu kardus yang aku bawa dari Indonesia. Sebagian sudah aku lahap di musim dingin lalu.

Setelah mengambil satu bungkus di kamar, aku segera menuju dapur yang terletak satu lantai di bawah lantai kamarku. Tidak ada orang lain di sana saat aku masuk. Ketika aku sedang memanaskan air, seorang penghuni lain datang. Seorang pria berwajah Asia dengan tubuh tegap menjulai. Kutaksir tingginya lebih sejengkal tangan dari tinggiku. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya.

"Dari Indonesia?" Ucapnya dengan bahasa Inggris yang sangat fasih.

Aku mengangguk, dan tampaknya gagal menyembunyikan wajah keherananku. Bagaimana dia bisa tau?
"I know that noodle." Ucapnya menunjuk pada sebungkus mi instan yang tergeletak di samping kompor yang sedang aku gunakan. "Temanku dulu sering membawakan mi itu. Dia orang Indonesia."

Aku mengangguk.

"Aku sempat ketagihan dengan aroma bumbunya."

"Aku masih punya di kamar. Mau?" Ucapku menawarkannya.

Pria itu menggeleng. "No, thanks."

"No problem. I have many."

Dia tampak berpikir sejenak, lalu menangguk padaku. "Jika kamu tidak keberatan."

Aku menggeleng. "No problem."

Dia mengarahkan tangannya padaku. "I'm William, from The Philippine."

"Tommy, and you already know where I come from."

Aku lalu mengambil sebungkus mi instan lagi di kamarku. Kami lalu memasak mi rebus rasa ayam bawang itu.

William menghirup asap panas yang menguap dari mangkuk di depannya. "Aku rindu aroma ini." Ucapnya. "Kamu yakin mi ini legal di Indonesia? Aku yakin ada drug di dalamnya. Benar-benar bikin kecanduan."

Aku tertawa menanggapi candaan pria itu.

Kami lalu melahap mi instan itu sebelum mendingin dibawa udara musim semi.

"Kamu kuliah di London Business School?" Tanya William.

"Iya. Kamu sendiri?"

"Aku juga." Jawabnya. "Aku ngambil MBA."

"Aku Master on Management." Ucapku setelah menyelesaikan seruputan terakhirku pada kuah penuh vetsin itu. "Kamu tinggal di lantai berapa? Aku belum pernah lihat kamu sebelumnya."

"Aku baru pindah minggu lalu ke sini." Jawab William.

***

Regent's Park terletak tepat di belakang kampusku di London. Aku bisa menghabiskan sore hari di sana sepulang dari kampus. Tidak melakukan apa-apa, hanya duduk di tepi danau, sambil sesekali mengamati pengunjung-pengunjung lain. Kadang juga aku habiskan dengan menelpon Fadil. Waktunya cukup pas, aku sedang free, sementara Fadil bisa memundurkan sedikit waktu tidurnya di zona waktu GMT+7 sana.

Memasuki penghujung musim semi, di pertengahan bulan Mei, dimulai lah episode baru drama musical yang diadakan di sebuah tempat petunjukan di Regent's Park. Seperti namanya Open Air Theater, panggung pertunjukkan itu tidak ditempatkan di dalam gedung, melainkan di udara terbuka. Penonton bisa menikmati pertunjukan sambil menghirup udara segar taman yang ditumbuhi banyak pohon.

Aku sudah memesan tiket untuk pertunjukkan sore ini jauh-jauh hari. Harganya terbilang mahal untuk mahasiswa dari negera berkembang sepertiku, namun sepadan dengan pengalaman sekali seumur hidup yang akan aku dapatkan selama berada di London.

Aku memasuki area theater setengah jam sebelum dimulai. Di depan sana panggung sudah diset sesuai judul drama hari ini, Peterpan. Sembari menunggu, aku memutuskan untuk menelpon Fadil.

Aku mengarahkan kamera ponselku pada seluruh penjuru teater, terutama bagian panggung. Aku ingin memberikan gambaran pada Fadil betapa menarik tempat ini, dan betapa aku berharap bisa menikmati bersamanya di sini. Setelah puas bercakap-cakap, kami memutuskan untuk mengakiri panggilan video itu. Penonton sudah semakin banyak berdatangan, tak lama lagi pertunjukkan akan segera dimulai.

Tak lama setelah aku menutup panggilan video itu, seseorang menepuk pundakku. "Hi, you are here." Ucapnya.

Aku menoleh ke arah pria berjaket biru dongker itu. William, pria Filipina yang aku temui di dapur dua minggu yang lalu.

"Kamu suka nonton drama musikal juga?" Tanyanya.

Aku menggeleng. "Ini pertama kalinya. Cuma penasaran saja, banyak temanku yang merekomendasikan."

"Ok! Enjoy the show. Bangkuku di depan sana." Dia menunjuk deretan bangku di barisan paling depan. "Meet me after the show."

Tak lama kemudian, para pelakon bermunculan dari belakang panggung. Drama musical bertema tokoh kartu populer Peterpan itupun dimulai. Acting memukau para pemain yang didukung depan sound kualitas baik sukses membiusku.

"It was a great show." Ucap William usai pertunjukan.

Aku sependapat dengannya.

Sebelum kembali ke flat, William mengajakku makan malam di salah satu restoran Asia yang terletak tak jauh dari Regent's Park. Aku memesan Ainan Chicken Rice, sementara William memesan semangkok Ramen.

"Sudah kemana saja kamu selama di sini?" Tanya William. Dia mengaduk Ramen panas yang baru saja datang itu.

Aku berpikir sejenak, mengingat kembali daftar tempat baru yang selalu aku kunjungi setiap akhir pekan selama di sini. "Hampir semua tempat terkenal sudah aku kunjungi, Buckingham, London Eye." Jawabku. "Aku juga sudah ke luar kota. Terakhir bulan lalu ke Liverpool."

"Aku belum ke London Eye." Ucap William.

"Seriously?" Tanyaku tak percaya. London Eye adalah salah satu tempat wajib untuk dikunjungi selama berada di London. Hampir tidak pernah aku bertemu dengan seseorang yang sudah berbulan-bulan tinggal di sini, namun belum pernah mengunjungi London Eye.

William mengangguk, mengonfirmasi keherananku. "Mau temanin aku ke sana minggu depan?" Tanyanya kemudian.

"Minggu depan aku ada acara dengan teman-teman Himpunan Mahasiswa Indonesia. Bagaimana kalau dua minggu lagi?"

"Oke, dua minggu lagi." Ucapnya riang.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang