Dua Puluh Lima

2.9K 138 5
                                    

Fadil menjemputku ke rumah malam minggu itu, tentu saja sebagai seorang teman. Aku pamit ke orang tuaku untuk mengikuti acara bersama teman-teman kuliah. Alasan yang cukup masuk akal untuk tidak menimbulkan kecurigaan.

Saat Fadil sampai di depan rumahku dengan sepeda motornya, aku hampir saja membongkar rahasiaku sendiri. Dia tampak benar-benar mempersiapkan diri untuk kencan pertama kamii. Rambut yang baru saja di potong rapi, setelan kemeja biru lengan panjang dengan bawahan celana denim dan sepatu kats. Aku hampir saja menghempaskan diri ke dekapannya saat itu juga, sebelum teringat bahwa ada perasaan yang harus kujaga di dalam rumah.

Dua orang pria dua puluh lima tahun memasuki lobi sebuah mall di Jakarta Selatan. Di sebelah seorang pria berkemeja biru, berjalan penuh percaya diri pria lainnya yang mengenakan kemeja lengan pendek slim fit yang dipadukan dengan celana cino abu-abu.

Kedua pria itu berjalan menuju aula bioskop, dan segera memesan kursi paling atas di sudut sebelah kiri. Tampak seperti dua orang teman karib yang sedang menghabiskan akhir pekan. Siapa sangka kalau malam ini adalah kencan pertama kami.

Film yang kami tonton adalah salah satu calon penghuni box office teratas, seri terbaru dari kisah superhero remaja yang sudah kutunggu-tunggu sejak beberapa bulan silam. Harusnya aku fokus menikmati adegan remaja high school itu saat menyelamatkan temannya yang terjebak di lift salah satu bangunan bersejarah di Amerika Serikat. Namun perhatikanku teralihkan antara layar bioskop dan pria di sebelahku itu. Di antara remang cahaya layar bioskop yang menempa wajah kami, aku sesekali melihat ke arahnya. Fadil balas menatapku dengan senyum bulan sabitnya. Selalu terasa nyaman melihat bibir itu. Bibir yang beberapa waktu yang lalu untuk pertama kalinya tidak berjarak sedikitpun di depan bibirku.

Dua jam berlalu begitu cepat, sehabis menonton kami bergerak menuju salah satu restoran Jepang yang ada di mall itu. Kami memesan dua mangkuk ramen, dan dua gelas ocha dingin yang bisa di refill sepuasnya.

Fadil menyeruput ramennya, dan menimbulkan bunyi seruputan khas orang-orang jepang yang biasa aku dengar di film-film mereka. "Sorry, jorok ya?" Ucap Fadil. "Aku sudah terlalu terbiasa makan ramen seperti ini di sana."

Aku menggeleng. Aku lalu melakukan persis sama seperti yang sebelumnya di lakukan Fadil, menyeruput ramen panas itu dari pangkal hingga ujungnya. Aku tersedak ketika bahkan belum seluruhnya terisap ke tenggorokanku. Aku segera meraih ocha dingin di depanku.

"Aku tidak berbakat." Ucapku.

Fadil tersenyum. "Jangan dipaksakan."

Aku lalu memakan ramen itu seperti biasa, seperti adanya orang Indonesia.

"Jadi benar tahun lalu kamu daftar kuliah ke Jepang?" Tanya Fadil.

Aku mengangguk.

"Karna aku?"

"Aku harus jawab jujur atau bohong?" Tanyaku balik.

"Berarti aku sudah tau jawabannya." Ucap Fadil sambil meraih Ocha dingin di sebelah mangkuk ramennya. Setelah sedikit membersihkan tenggorokan, dia kemudian memasang tampang serius dan berbicara lagi. "Maaf ya, kamu jadi menyia-nyiakan waktumu satu tahun."

"Bukan salah kamu, aku yang ingin mencoba kuliah ke sana." Jawabku sesegera mungkin.

"Harusnya kamu bisa lebih cepat mengejar mimpiku ke London." Ucapnya.

Aku tersenyum. "Jika tahun lalu aku berangkat ke London, kita tidak akan bersama." Ucapku. "Tidak akan ada perjalanan ke Malang."

"Selalu ada sisa baik dari semua hal ya." Ucap Fadil tersenyum.

Malam ini kami adalah pemeran utama dari kisah klasik berjudul malam minggu. Lighting, dan seluruh kamera mengarah ke meja kami di sudut restoran. Pengunjung lain hanyalah ekstras yang tak penting, bahkan jika meraka tak ada kisah ini tetap akan berlanjut. Meja nomor dua belas itu penuh tawa oleh sepasang pria yang sedang memadu kisah.

Beberapa menit sebelum restauran itu tutup, kami segera pulang. Di dalam perjalanan, aku meringkuk di belakang Fadil, menyandarkan dadaku di punggungnya. Sesekali mata kami beradu melalui spion motor sebelah kiri, kemudian malu-malu melempar senyum.

Kami kembali bermain peran sebagai seorang teman saja ketika memasuki komplek perumahanku. Sesampai di rumah, aku masuk ke dalam kamar, dan langsung disambut oleh sebuah kalender yang bertengger di atas meja. Sebuah tanggal aku lingkari dengan spidol warna merah. Saat perpisahan itu semakin dekat. Waktu adalah musuhku kini.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang