Tiga Belas

3.1K 146 4
                                    

Waktu terasa berjalan begitu cepat saat kau benar-benar menikmatinya. Sebulan kini telah berlalu semenjak Fadil datang kembali di kehidupanku. Kini aku bisa terbangun dengan semangat menggebu, tak sabar untuk duduk di jok belakang motornya. Kini waktu makan siang menjadi satu jam paling berarti dalam sehari hidupku. Rasanya masih ada begitu banyak hal yang bisa aku dengar dan bagi bersamanya.

Pagi tadi sesampai di kantor, Fadil mengajakku untuk makan malam di sebuah restoran Jepang sepulang kerja. "Aku traktir. Gaji pertama." Ucapnya.

Tentu aku menyambut dengan riang, dan di sinilah kami duduk beradapan di restoran Sushi yang terletak di salah satu Mall di Jakarta Pusat itu. Di sebelah kami terdapat sebuah conveyor yang membawa berbagai macam Sushi siap santap.

Fadil mengambil sebuah piring berwarna merah berisi dua kepal nasi dengan seiris Salmon mentah bertengger di atasnya. "Berani makan mentah?" Tanyanya.

Aku mengangguk. "Siapa takut?"

Aku langsung melahap utuh makanan itu.

"Sudah cocok tinggal di Jepang." Fadil tersenyum.

"Andaikan tahun lalu kamu diterima kampus di sana, aku ajak mencoba semua restoran Sushi terenak di Tokyo." Lanjutnya.

Aku membalas perkataan Fadil dengan sebaris senyum tipis. Kemudian aku teringat ucapan Bagas padaku beberapa bulan silam. Jika kamu diterima salah satu kampus di Tokyo, belum tentu juga kalian akan akrab. Empat tahun bersama, sedekat apa kalian? Cuma sebatas teman satu angkatan kan?

Jika aku bandingkan dengan hubungan kami sekarang, rasanya aku tidak bisa mengharapkan lebih dari ini. Kami tidak pernah sesering ini bersama sebelumnya. Jika aku sanggup menjumlahkan total kata yang aku ucapkan dan dengarkan darinya selama empat tahun di kampus, mungkin hanya selisih sedikit saja dari jumlah kata yang kami ucapkan dalam sebulan ini.

Jika aku lulus, sekarang aku tidak di sini, aku masih berada di Tokyo seorang diri dan Fadil sudah kembali ke Jakarta.

"Long weekend dua minggu lagi ada acara, Tom?" Tanya Fadil.

Aku menggeleng sambil menyeruput Ocha panas yang baru saja direfill itu. "Paling main PS di kamar."

"Ke Malang yuk." Ucap Fadil.

"Naik apa?"

"Kereta api."

"Memang masih ada yang kosong?" Tanyaku. Setahuku tiket kereta api sudah bisa di pesan tiga bulan sebelum keberangkatan. Untuk high season seperti ini, pasti sudah habis.

"Tadi pagi aku cek masih ada yang kosong. Mungkin ada kereta tambahan."

Fadil meraih ponselnya, lalu tampak membuka aplikasi pemesanan tiket.

"Masih ada nih, kelas ekonomi." Ucapnya setelah beberapa saat.

"Ya sudah, langsung pesan saja." Ucapku antusias.

"Semangat sekali." Fadil tersenyum.

Kami segera memesan tiket pergi untuk keberangkatan hari Jumat malam, dan tiket pulang untuk keberangkatan Senin sore. Tak lupa kami juga memesan satu kamar untuk dua malam di Kota Batu. Untuk menunjang mobilitas selama di sana, kami memutuskan menyewa sepeda motor.

***

Aku tidak tau sejauh apa hubungan Fadil dan Anita sampai Pagi ini. Sesampai di parkiran kantor, Fadil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. "Titip untuk Anita ya." Ucapnya.

Aku menerima bingkisan yang dipenuhi tulisan Kanji di depannya itu. Fadil membelikan sesuatu untuk Anita?

"Kamu beliin untuk Anita?" Aku tidak kuasa untuk menahan diri untuk tidak bertanya. Aku siap apapun jawaban dari Fadil. Jawaban yang mungkin saja akan disusul informasi lainnya tentang hubungan mereka. Jawaban yang mungkin akan disusul sebuah permintaan, apakah aku keberetan berangkat dan pulang kerja dengan bus Trans Jakarta lagi seperti sebelumnya, karena mulai besok sudah ada yang menggantikan posisiku di jok belakang motornya.

Fadil menggeleng. "Temanku baru balik dari Jepang. Anita kemaren nitip dibelikan itu di sana. Tidak ada yang jual di Jakarta."

Tentu saja jawaban Fadil tidak membuatku tenang. Terlebih lagi saat aku menyerahkan paket itu pada Anita, gadis itu langsung bertanya tentang liburan kami ke Malang. Sudah sejauh apa obrolan mereka?

"Fadil cerita?" Tanyaku. Tentu saja, siapa lagi? Tidak mungkin kan pengunjung restoran kepo yang kebetulan mendengar obrolanku dengan Fadil, lalu memberitahu Anita?

"Iya, Mas. Kemaren Mas Fadil cerita. " Ucapnya tersenyum. "Jangan lupa oleh-oleh ya."

Aku mengangguk, lalu memalingkan wajahku ke layar komputer.

***

"Dua malam, satu tempat tidur. Take your time."

Bagas duduk di ujung tempat tidurku. Stick PS tergeletak di sebelahnya, sementara layar TV di depannya sedang menampilkan pilihan klub sepakbola Inggris yang akan dimainkan.

Aku sedang memasukan beberapa potong pakaian ke dalam tas ransel. "Hanya kamar yang sama, tapi beda kasur." Protesku.

Aku lalu menutup tas ransel yang penuh sesak itu. Setelah itu, aku meletakkannya di atas meja belajar.

Aku berjalan ke arah Bagas, lalu mengambil dua Stick PS yang tergeletak di atas kasur itu, dan menyerahkan satu pada Bagas.

"Oh iya, bagaimana dengan cewek yang waktu itu kamu ceritakan?"

Aku teringat pernah menceritakan tentang Anita pada Bagas. Tentang ketakutanku atas kedekatan mereka.

"Mereka semakin dekat." Ucapku.

"Sudah jadian?"

Aku mengangkat bahuku. "Belum, tapi sepertinya tinggal menunggu waktu." Ucapku pasrah.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang