Tiga Puluh Satu

2.7K 128 2
                                    

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi melihat William. Tidak di lantai tempat kamarnya berada, tidak di dapur, bahkan tidak juga di sekitar kampus. Dia menghilang begitu saja, memutuskan pertemanan baik kami yang sebenarnya masih bisa diperbaiki.

Pagi ini sebelum berangkat ke kampus, aku memutuskan untuk menyambangi kamarnya yang berada satu lantai di bawah kamarku itu. Sudah beberapa kali aku mengetuk pintu, namun tak ada respon. Entah dia berada di kamar dan tidak mau menemuiku, atau memang dia sedang tidak ada. Aku menyerah, lalu melanjutkan perjalanku menuju kampus.

Hari ini tidak ada jadwal kuliah. Aku akan menghabiskan seharian di perpustakaan untuk mencari tambahan buku untuk referensi. Setelah memperoleh beberapa buku, aku membawa buku-buku tebal itu ke meja panjang di tengah ruangan. Aku tidak sengaja melihat ke arah salah satu rak buku, dan melihat sosok pria Filipina itu ada di sana.

Aku segera meletakkan buku itu di atas meja. Aku harus menemuinya, dan meluruskan permasalahan yang terjadi di antara kami. Secepat aku berpaling untuk menaruh buku itu, secepat itu juga dia lenyap. Aku segera menghampiri rak buku tempat tadi aku melihatnya. William tidak lagi ada di sana.

Mengapa juga aku yang harus bersusah payah memperbaiki hubungan pertemanan kami? Dia yang merusaknya, dan dia yang seharusnya bertanggung jawab. Masih banyak yang lebih penting untuk aku pikirkan, terutama sekali tugas akhirku.

Setelah itu aku benar-benar melupakan bahwa aku pernah punya seorang teman baru dari Manila. Aku mencurahkan seratus persen perhatianku pada penelitian yang akan aku lakukan.

Beberapa minggu kemudian aku meninggalkan London untuk terbang ke Kota Manchester. Rumah tempat dua klub bola raksasa berada. Bukan untuk menyaksikan si merah dan si biru bertempur, dan juga bukan untuk sekadar liburan. Aku akan menghabiskan sepekan di sana untuk penelitian. Perjalankanku sebentar lagi akan berakhir.

***

Sore itu sesampai kembali ke London, aku segera merebahkan tubuhku di kasur yang sudah aku tinggalkan seminggu lamanya itu. Malamnya, aku masih terlalu lelah untuk keluar mencari makan. Aku teringat masih punya sepotong paha ayam beku di dalam freezer, cukuplah di tambah dengan sebungkus mi goreng sebagai sumber karbohidrat.

Di dapur, aku menyalakan kedua tungku kompor yang bersebelahan itu. Satunya untuk memanaskan air untuk merebus mi instan, sementara satunya lagi untuk menggoreng paha ayam. Sementara itu, aku menuangkan bumbu mi goreng instan yang berbau khas itu ke dalam piring. Saat itulah, aku mendengar langkah kaki seseorang memasuki dapur. Aku memutar pandanganku ke arah pintu. Di ujung sana, William berdiri, tersenyum ke arahku.

"Hi!." Ucapnya sambil melangkah, mendekat kepadaku.

Tampaknya aroma bumbu mi gorengku berhasil membawanya ke sini.

"Hi!" Balasku.

"How are you?" Katanya.

"Fine." Balasku. "Tapi, sedikit lapar."

William duduk di kursi di depan meja panjang yang melintang di tengah dapur.

"Mau? Aku masih punya sebungkus lagi di kamar." Mi Instan itu yang mendekatkan kami dulu, mungkin mi instan itu juga yang bisa memperbaiki hubungan kami.

William menggeleng. "Aku baru saja habis makan."

Aku mengaduk-ngaduk bumbu mi sudah aku tuang ke dalam piring itu. Aroma khasnya semakin menyeruak, memenuhi seisi dapur.

"Jadi bukan bau ini yang membawamu ke sini?"

William tertawa. "Aku mau mengambil desert di kulkas, ternyata kamu ada disini."

Aku lalu meniriskan mi instan yang sudah matang itu. Kemudian menuangnya ke dalam piring. Setelah mengaduk bumbunya rata, aku metelakkan paha ayam goreng di atas mi goreng instan siap santap itu.

Sementara William berjalan ke arah kulkas. Setelah mengambil sesuatu dia kembali duduk di kursi.

"Jadi kamu kemaren ke Manchester?"

"Kok tau?"

"Aku tanya ke teman-temanmu di kampus."

"Oh"

"Aku minta maaf atas kejadian waktu itu." Ucapnya.

"No problem. Aku sudah melupakannya. Itu juga bukan sepenuhnya salahmu."

Bagaimanapun juga aku cukup punya andil atas apa yang dilakukan oleh William. Jika saja aku langsung menolak saat dia memegang pipiku, mugkin ceritanya akan berbeda.

"Terima kasih." Ucapnya. "Kita masih berteman kan?"

"Sebenarnya aku masih marah." Ucapku. "Karena kamu menghindar dariku, bukannya menyelesaikannya dengan baik-baik. Tapi ya sudahlah."

William mengangguk, seolah setuju dengan apa yang aku ucapkan. "Ada begitu banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Tapi, aku tau itu salah."

"Mungkin kita memang belum terlalu mengenal satu sama lain. If there is anything you want to share, just tell me. That's what a friend for."

"You know, tidak pernah mudah menjadi gay, di mana pun itu." William menarik nafas panjang, lalu melanjutkan ucapannya. "Kami memiliki pilihan yang terbatas. Aku pernah merasa sudah menemukan seseorang untuk berbagi mimpi bersama, namun orang itu pergi dan melupakan janji yang dibuat berdua. Sulit untuk menata hati kembali."

"Pria itu yang berjanji mengunjungi London Eye denganmu?" Tanyaku berhati-hati.

Dia mengangguk. "Dia juga yang dulu memperkenalkanku dengan mi instan itu. Dia separuh Indonesia. Ayahnya Indonesia, ibunya Asli Filipina. Kami bertemu di Manila, lalu berpacaran tiga tahun lamanya. Kami membuat janji untuk mengunjungi London Eye berdua. Dia gagal kuliah ke London. Aku menunggunya di sini. Namun tau-tau dia menghilang, dan yang aku dengar kemudian adalah dia sudah menikahi seorang wanita di sana."

William lalu tersenyum. "Kamu mengingatkanku dengannya."

"Maaf ya. Ada yang menungguku di Jakarta."

William mengangguk. "Pria itu?"

"Kamu tau?" Tanyaku terkejut.

"Aku tidak sengaja melihatmu ketika sedang video call dengan seorang pria di Open Teather Regent's Park waktu itu. Walaupun aku tidak mengerti dengan apa yang sedang kalian bicarakan, tapi aku bisa merasakannya dari caramu berbicara, dan caramu menatap pria di layar ponsel itu. Sesuatu yang tidak akan bisa kalian sembunyikan, walaupun kalian berbicara dengan bahasa alien sekalipun."

Aku tersenyum. "Percayalah suatu saat nanti kamu akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik."

Seketika aku merasa gamang dengan apa yang baru saja aku ucapkan. Aku tidak tau apa-apa tentang apa yang sebenarnya dirasakan oleh Fadil saat ini. Aku takut membayangkan bahwa ketika aku kembali nanti, semuanya sudah berbeda.

"Semoga." William tersenyum, lalu melanjutkan ucapannya. "Segeralah selesaikan tugasmu di sini. You must miss him so much."

Aku mengangguk, lalu membayangkan senyum Fadil di sana. Aku akan segera kembali, sebelum semuanya terlambat.

***

Beberapa bulan kemudian aku menyelesaikan semua kewajibanku di kampus. Orangtua dan kakakku datang pada hari wisuda. Bagas, Anita, dan Fadil bergantian menghubungiku untuk mengucapkan selamat. Mereka juga menyampaikan sudah tidak sabar untuk menungguku kembali.

"Tiga minggu lagi." Jawabku pada Fadil saat dia bertanya kapan aku pulang.

"Ya sudah, puas-puaskan dulu di sana. Nanti kangen kalau sudah balik."

Aku mengangguk. "Tunggu aku ya." Ucapku.

Setelah orangtuaku kembali ke Jakarta, aku habiskan untuk berlibur dengan teman-teman satu angkatan. Akan sangat sulit untuk berjumpa lagi setelah kami kembali ke negara masing-masing. Setelah itu, beberapa hari sebelum kepulanganku, aku dan William berlibur ke Irlandia Utara. Kami kemudian berjanji akan saling mengunjungi di Manila dan Jakarta nanti.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang