Enam Belas

3K 146 1
                                    

Sehabis makan malam di dekat penginapan, kami bergerak menuju Batu Night Spectacular (BNS). Bak Pasar malam, tempat ini memang dibuka mulai dari sore hari hingga menjelang tengah malam. Berbagai macam hiburan dapat di nikmati. Mulai dari yang memanjakan mata berupa permainan cahaya dari lampion-lampion yang dibentuk menyerupai karakter-karakter tententu, hingga wahana-wahana ekstrim yang membangkitkan adrenalin. Untuk dapat menikmati seluruh atraksi, kami memutuskan membeli tiket terusan.

"Berani?" Tanya Fadil.

Kami sedang berdiri di depan sebuah wahana bernama Megamix. Lengkingan suara manusia terdengar bersautan.

"Siapa takut?" Ucapku.

Aku menelan ludah memandangi kengerian yang tersaji di depan sana. Sejenak nyaliku sempat menciut, namun berusaha aku enyahkan.

Beberapa menit berselang, mesin pengocok perut itu berhenti. Beberapa orang keluar dari alat berbentuk lingkaran itu. Sebagian dari mereka tertawa, tampak sekali berusaha keras untuk menyembunyikan kengerian yang masih menguasi pikiran mereka. Sementara beberapa yang lain hanya terdiam dengan wajah pucat pasi. Bolehkah aku membatalkan rencana ini?

Namun tidak ada lagi waktu untuk mundur. Giliran kami sudah tiba. Dengan sedikit ragu, aku mengikuti Fadil menaiki tangga untuk mencapai alat itu. Kami segera memilih tempat duduk di bagian tengah.

Pengaman yang terletak di depan tubuh segera diturunkan, lalu pengaitnya dipasang. Petugas mulai bergerak dari satu kursi ke kursi lain untuk memastikan bahwa pengaman sudah terpasang dengan sempurna. Saat petugas keluar meninggalkan wahana, saat itulah aku tau bahwa aku sudah harus bersiap dengan apapun yang terjadi.

"Sudah siap semua." Ucap petugas wahana dari pengeras suara.

Siap

Beberapa saat kemudian, wahana itu mulai terangkat. Aku menarik nafas panjang untuk menenangkan detak jantungku yang mulai tak beraturan.

Di sebelahku, Fadil hanya tersenyum memandangi kegelisahanku. Sementara tangannya mendekap erat besi pengaman. Jelas dia merasakan kengerian yang sama.

Benda baja itu mulai berputar berlawanan arah jarum jam. Itu baru pemanasan sebelum penyiksaan yang sesungguhnya dimulai. Putaran semakin lama semakin cepat. Puncaknya dimulai ketika sisi tempat kami duduk semakin terangkat, sementara sisi berlawanan turun. Membuat benda itu miring empat puluh lima derajat.

Sambil terus berputar, tanpa aba-aba, wahana itu dibalik melawan gravitasi. Kepala kami berada di bawah menghadap tanah, sementara pantat kami masih duduk pada kursi dengan kaki menghadap ke atas. Serasa sedang duduk di langit-langit rumah, dengan tubuh menghadap lantai. Saat itulah waktu yang tepat untuk berteriak mengimbangi adrenalin yang memuncak.

Benda itu kemudian kembali pada posisi awalnya, namun bukan untuk berhenti akan tetapi untuk kembali membalik menghadap tanah. Terus berulang-ulang kali.

Tak memberi kami waktu untuk terbiasa, putarannya kemudian berbalik arah mengikuti arah jarum jam. Teriakan dan jeritan terdengar semakin menjadi. Sesekali aku dengar beberapa pengunjung terbatuk-batuk kehabisan suara.

Setelah beberapa saat, penyiksaan itu akhirnya berakhir. Wahana Megamix berhenti, pengaman di dada terbuka. Aku segera keluar dari benda mengerikan itu dengan sempoyongan. Dunia serasa masih berputar-putar.

Fadil merangkul pundakku. "Menyerah?" Tanyanya.

Aku menggeleng. "Biasa saja."

"Kita ulangi lagi." Dia menarik tubuhku ke arah wahana Megamix.

"Sudah semakin malam, mending kita coba wahana lain." Kilahku sembari menahan dorongannya.

"Nice excuse." Ucapnya tersenyum. Dia lalu melepas dekapannya di pundakku, lalu berjalan mendahuluiku. Dia tampak menerawang memperhatikan beberapa wahana di sekitar kami.

"Mau coba ini?" Tanyanya di depan sebuah wahana.

Aku mengangguk.

Kami menjajal hampir semua wahana malam ini. Ada senyum, tawa, teriakan, dan jeritan yang sama. Ada hangat rangkulan tangannya di pundakku sesekali. Malam ini aku merasa puncak dari seluruh angan yang kusimpan semenjak tujuh tahun silam. Menjadi sedekat ini dengannya. Mungkin ini adalah titik paling mungkin yang bisa kuharapkan dari pria ini.

Saat kami menikmati lampion lampu sebelum menyudahi pertualangan malam ini, serangan pertanyaan bertubi-tubi mengusik benakku. Apakah cukup hanya menjadi teman dekatnya? Apakah yang aku inginkan hanya sekedar senyum dan tawa bersamanya? Apakah yang kumau hanya sekedar dekapannya yang pundakku?

Tengah malam di kamar penginapan, aku terbangun setelah mungkin sudah tertidur selama satu jam. Aku memiringkan sedikit tubuhku ke sebelah kanan. Lampu dimatikan, namun remang cahaya dari luar kamar yang menembus jendela, membuatku masih bisa menatap Fadil yang tertidur pulas di ujung sana.

Aku teringat pertanyaan Bagas padaku beberapa waktu silam. Apakah aku akan mengatakan perasaanku pada Fadil? Kini aku menemukan jawaban berbeda dari yang dulu aku ucapkan. Telah kuputuskan, besok aku akan mengutarakan padanya apa yang sudah aku simpan bertahun-tahun.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang