Enam

3.7K 177 2
                                    

Aku terbangun dengan semangat memuncak. Aku akan memasuki sebuah fase baru dalam tujuh tahun terakhir hidupku. Dari seorang pengagum rahasia, yang hanya bisa sesekali mencuri pandang ke arah wajahnya di kelas. Kemudian dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa mungkin kami tidak akan pernah bertemu lagi. Minggu ini, semua itu berubah, menjadi sesuatu yang tidak pernah aku sangka. Kami kini menjadi teman satu kantor, dan yang paling penting, kami akan berangkat dan pulang kantor bersama.

Sebuah motor mendekat ke arahku. Si Pengendara motor memakai helm full face dengan kaca depan hitam pekat. Nyaris tidak bisa mengenali orang yang menghampiriku itu. Namun aku tau dia siapa. Motor yang sama yang aku lihat memasuki area parkir di tahun kedua di kampus, dengan seorang wanita berambut panjang terurai di jok belakangnya. Wanita yang kemudian aku kenal sebagai pacarnya.

"Maaf, menunggu lama ya?" Tanya Fadil.

Aku menggeleng. "Aku baru sampai juga." Ucapku. Aku benar baru sampai di depan Ruko di sebelah gerbang masuk komplek perumahaanku ini, namun pikiranku sudang mengawang-ngawang semenjak semalam. Menantikan betul momen pagi ini.

Fadil menyerahkan helm padaku.

Dengan berhati-hati aku duduk di jok belakang. Aku tidak ingin merusak sedikitpun momen penting pagi ini.

Fadil memacu motor dengan kecepatan sedang. Setengah jam kemudian, kami sampai di parkiran motor belakang gedung. Perjalanan yang terasa begitu singkat. Mengapa jalanan pagi ini sepi sekali? Seharusnya bisa sedikit lebih macet.

Kami berjalan menuju lift. Saat pintu lift terbuka, aku bertemu dengan Anita, rekan sekantorku yang baru lima bulan bergabung di divisi yang sama denganku. Dia hendak membeli sarapan di belakang gedung.

"Anak produk juga?" Tanya Fadil setelah Anita berlalu.

"Iya." Jawabku was-was.

Pandangannya tampak mengikuti Anita yang menghilang seiring dengan tertutupnya pintu lift.

"Wulan gimana kabarnya?" Tanyaku berusaha mengalihkan perhatian Fadil dari Anita.

"Kami sudah putus lama." Jawabnya. "Enam bulan setelah aku ke Jepang."

"Nggak kuat LDR?"

Fadil menggeleng. "Bukan aku, tapi dia."

Lift berhenti di lantai 2. "Good luck Dil. Welcome to BA. Semoga betah." Ucapku sebelum keluar.

Fadil tersenyum. "Makasih, Tom."

***

Aku sedang fokus menatap layar komputer yang sedang menampilkan sebuah file berformat docx. Earphone bervolume sedang terpasang kedua kupingku. Itu caraku untuk berkonsentrasi pada pekerjaan.

"Mas, Tom." Suara terdengar di sela-sela musik pop yang sedang aku putar.

Aku melepas earphone dari telinga kiriku, lalu menatap ke arah Anita yang memanggilku. Meja kami bersebelahan.

"Yang tadi itu teman Mas Tom, ya?" Tanya mojang Bandung itu.

"Yang mana?" Tanyaku pura-pura tidak paham dengan pertanyaannya.

"Yang tadi pagi, yang kita ketemu di depan lift.

Tampaknya sudah tidak mungkin lagi untuk pura-pura tidak ingat. "Iya."

"Kerja di Bank of Australia juga?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

"Divisi apa?"

"Treasury."

"Oh, lantai lima." Ucapnya.

Aku kembali memasang earphone ke telinga kiriku, lalu menaikan volumenya. Kini tidak akan ada sedikitpun suara dari luar yang terdengar olehku. Namun seberapa kuatnya aku mencoba menolak, gambaran-gambaran tentang Anita dan Fadil terus bergelayut dalam benakku. Mereka jelas menunjukan ketertarikan yang sama. Mungkin tidak butuh waktu lama bagi Anita untuk menggantikan posisiku di jok belakang motor Fadil. Ah, aku sudah terbiasa dengan ini.


Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang