Dua Puluh Enam

2.8K 142 7
                                    

Waktu menunjukan tajinya padaku. Aku menganggapnya musuh, maka ia menunjukan perlawanan sengit. Aku berharap dia berputar lambat, agar setiap detik yang tersisa bisa kunikmati dengan santai. Nyatanya hari perpisahan itu datang begitu cepat, tak terkendali.

"Besok aku harus benar-benar berangkat kerja sendiri?" Tanya Fadil sambil menyerahkan helmnya padaku pagi ini.

Aku hanya tersenyum padanya menyembunyikan getir di hati.

Hari itu telah datang. Hari terakhirku di kantor. Hari ketika aku harus berpisah dengan semua aktivitas favoritku: Berangkat kerja, makan siang, dan pulang bersama Fadil. Hari itu datang dan menyergapku erat, setelah mengantuiku berhari-hari.

"Nanti benaran tidak mau ikut?" Tanyaku padanya sesampai di parkiran motor.

Malam ini sepulang bekerja, aku bersama rekan-rekan satu divisi akan mengadakan makan malam perpisahan di salah satu restoran asia.

Fadil menggeleng. "Ini kan hari terakhirmu bersama teman-temanmu. Aku tidak mau ganggu."

"Nanti kita berdua saja, lebih spesial." Fadil mengerdipkan sebelah matanya, lalu tersenyum padaku.

Aku membalas senyumnya, sambil berusaha menutupi getir di hati yang muncul kembali.

Aku melalui hari terakhir di kantor dengan gundah. Tidak banyak yang bisa aku kerjakan. Aku sudah menyelesaikan hampir semua kewajibanku jauh-jauh hari. Di saat tidak banyak pekerjaan begini seharusnya hari terasa begitu panjang. Tidak berlaku untuk hari ini. Tau-tau sore tiba, dan aku sudah harus mengucapkan perpisahan dengan komputer yang sudah menemaniku selama dua tahun itu.

Sehabis menyantap semua makanan di restoran asia itu, atasanku memberikan sebuah bingkisan dalam sebuah kotak. "Semoga sukses di London. Ini dari kami semua." Ucapnya. Kemudian secara bergantian rekan-rekan kerjaku itu memberikan kata-kata perpisahan.

"Selamat mengejar mimpi di London, Mas. Terima kasih atas ilmu-ilmu yang selama ini Mas Tom berikan." Ucap Anita.

Aku menumpang ojek online ke rumah. Sesampai di rumah, aku segera membalas pesan dari Fadil. Pesan chat-nya dari tadi belum aku balas.

Aku baru sampai di rumah. Balasku.

Bagaimana acara?

Lancar. Balasku lagi. Tapi sedih juga harus berpisah dengan mereka.

Aku sudah mengetik kata-kata tentang kami, sebelumnya akhirnya mengurungkan niat. Setidaknya kami masih punya satu bulan lagi sebelum aku berangkat.

Besok ke tempatku jam berapa? Tanyaku.

Jam empat ya.

Besok malam, selepas Magrib, aku akan mengadakan syukuran di rumahku.

***

Aku, Bagas, dan Fadil sedang sibuk memindahkan sofa dari ruang tamu ke teras rumah. Setelah itu, kami akan membentangkan karpet besar di ruang tamu itu. Rasanya cukup untuk menampung teman kuliah, rekan kerja, dan beberapa orang teman orang tuaku. Tak ketinggalan lima belas orang anak yatim juga kami ajak untuk berbagi kebahagiaan.

Anita datang sekitar pukul setengah enam di rumahku. Bagas yang sedang menyapu lantai ruang tamu mengampiriku. "Siapa?" Tanyanya sambil menyikut tanganku.

"Nit, kenalkan sahabatku Bagas."

"Gas, teman kerjaku Anita."

Mereka bersalaman, dan saling melempar senyum.

"Iya, aku sahabatnya Tommy dari kami masih bayi." Ucap Bagas tampak percaya diri. "Tinggal di depan sana."

Anita mengangguk, lalu tersenyum pada kami. Dia tampak canggung menanggapi tingkah sok asyik Bagas.

"Aku bisa bantu apa, Mas Tom?" Tanya Anita.

"Kalau mau bantu ibuku di dapur saja."

Aku menuntun Anita ke dapur. Setelah memperkenalkan pada keluargaku, aku lalu kembali ke ruang tamu.

Selepas magrib rekan-rekan yang kami undang mulai berdatangan. Sekitar pukul tujuh malam, seorang ustad memulai ceramah singkat tentang pentingnya pendidikan. Kemudian lanjut berdoa bersama untuk kelancaranku menempuh pendidikan jauh di sana, di London.

Setelah itu, kami mempersilakan para tamu undangan untuk menyicipi hidangan yang sudah disediakan. Keluargaku sudah mempersiapkan berbagai macam menu. Ada sate ayam, soto Madura, serta nasi lengkap dengan lauk nan menggoda. Tak lupa ada berbagai macam buahan untuk pencuci mulut.

Setelah mengambil makanan, para tamu duduk berkelompok dengan teman mereka masing-masing. Lima belas anak yatim yang kami undang membentuk lingkaran di tengah ruang tamu. Rekan kerjaku duduk memojok di sebelah pintu kamar. Teman orang tuaku mengambil posisi agak ke dalam, di depan lemari besar di ujung ruang tamu. Kakakku yang hanya mengundang dua orang teman dekatnya, memilih mengasingkan diri ke ruang makan. Teman kuliahku memilih ke teras rumah, duduk di sofa yang sebelumnya sudah kami keluarkan. Sementara itu Bagas, satu-satunya sahabat dan teman yang aku punya di lingkungan rumah, ikut bergabung dengan Fadil dan teman kuliahku.

Sebagai tuan rumah, aku harus berpindah-pindah di antara kelompok-kelompok ini. Mulanya aku bergabung dengan adek-adek anak yatim, dan meminta mereka untuk tidak sungkan-sungkan mencoba semua hidangan. Tentu saja dengan sedikit rekomendasi. Mereka tidak boleh melewatkan soto Madura spesial yang dibuat sendiri oleh ibuku. Untuk menu-menu lain kami memesan dari chattering.

Lalu orangtuaku memanggilku untuk bergabung dengan teman-teman mereka. Drama saling memuji anak masing-masing pun terjadi. Aku hanya tersenyum mendengarkan "pertarungan" mereka. Setelah itu, aku bergabung dengan rekan-rekan kerjaku di sudut ruang tamu. Kemudian, berpindah ke teras rumah, untuk bergabung dengan teman-teman kuliahku.

Adu duduk di sebelah Bagas. Sebelum sampai pantatku mendarat pada sofa coklat itu, Bagas sudah menodongku dengan sebuah permintaan. "Minta nomor Anita." Bisiknya.

"Nanti aku pikirkan dulu."

Bagas menggeleng. "Wajib."

Hampir pukul sembilan malam, tamu mulai berangsur pulang. Anita pamit pada kami bertiga yang berdiri di depan pagar rumahku. "Mas, Aku balik ya." Jika aku tidak salah, dia tampak kaku sekali hari ini.

"Hati-hati." Ucap Bagas padanya.

"Iya, Mas." Anita mengangguk, tersenyum.

Setelah Anita menghilang dari pandangan mata kami, Bagas kembali merengek padaku. "Sini, minta nomornya."

"Kita kasih, Dil?" Tanya ku pada Fadil. "Jangan lah ya?"

"Kamu sudah siap dengarin dia ngoceh tentang Jepang?" Tanya Fadil.

Bagas mengangguk. "Aku suka Jepang."

"Sejak kapan?" Tanyaku keheranan.

"Aku punya banyak videonya. " Ucap Bagas sambil mengerdipkan sebelah matanya padaku.

"Video apa?"

"Ya anime lah.Apa lagi coba?"

Kami bertiga tertawa.

"Perlu aku bantu?" Tanyaku pada Bagas setelah memberikan nomor Anita padanya.

"Tidak usah. Aku tidak seperti kamu yang butuh enam tahun untuk mengatakan cinta." Ucapnya sambil tersenyum pada kami berdua.

Aku membelakak pada Bagas, sementara Fadil hanya tersenyum di sebelahku.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang