Sepuluh

3.3K 146 2
                                    

Satu tahun yang lalu

Sesampai di rumah malam itu, aku meletakkan tasku di kamar. Lalu, berjalan menuju rumah Bagas yang terletak tepat di depan rumahku.

Pintu rumahnya aku ketuk. Tak lama, ibunya muncul dari balik pintu. "Bagas di kamarnya, Tom."

Aku menyelonong masuk ke kamar sahabatku itu.

Bagas tampak sedang sibuk mengerjakan sesuatu di meja belajarnya.

"Sudah dapat kabar dari kampus di Jepang?" Tanya Bagas.

Aku menggeleng.

"Bukan harusnya hari ini ya?"

Aku mengangguk.

"Jadi sudah atau belum?"

"Sudah ada, tapi aku tidak lulus." Jawabku.

Bagas bangkit dari kursi, lalu berjalan menghampiriku. Dia duduk di atas kasur, di sebelahku.

Untuk beberapa saat ada keheningan di antara kami.

"Pasti kamu ingin mengatakan sesuatu kan?" Ucapku setelah beberapa saat.

Dia menarik nafas. "Aku sudah menyangka akan begini." Ucapnya.

Aku mengangguk.

Kuliah ke Jepang tidak pernah menjadi mimpiku. London adalah satu-satunya kota yang selalu aku harapkan. Bagas tau itu, tentu saja, dia sahabatku bahkan jauh sebelum kami sama-sama bisa berjalan dan berbicara.

Beberapa bulan yang lalu, aku memutuskan untuk berputar haluan, dan mengubur mimpiku ke London. Aku berakhir dengan mendaftar kuliah ke salah satu universitas di Tokyo. Alasannya tidak lain karena aku berharap bisa dekat dengan Fadil lagi di sana. Bagas salah satu orang yang menentang keputusanku.

Aku tau berkas yang aku kirimkan untuk pendaftaran kuliah itu tidak pernah sesempurna yang aku harapkan. Personal Essay yang kutulislah mungkin menjadi salah satu yang membuat aku gagal. Aku yakin entah bagaimana pihak kampus mungkin menemukan kekurangan motivasiku dari tulisan yang aku kirim itu.

"Jadi apa rencanamu selanjutnya?" Tanya Bagas.

Aku mengangkat bahu. "Tidak mungkin mencoba lagi ke Jepang kan?"

"Jika kamu diterima tahun depan, dia sudah kembali ke Jakarta." Ucap Bagas.

Bagas bangkit dari tempat tidur, dan berjalan menuju meja belajarnya. Dia membuka laci yang terletak di bawah meja. Tampak sebuah kertas dia keluarkan dari dalam sana. Dia lalu menyerahkan kertas itu padaku.

"Tau kertas itu?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

Itu kertas yang berisikan mimpi-mimpiku tentang kuliah di London. Dulu aku simpan di dompetku sebagai penyemangat untukku meraih mimpi. Beberapa bulan lalu, aku keluarkan. Entah bagaimana Bagas berhasil menemukannya kembali, dan menyimpannya hingga kini.

"Kejar mimpimu."

Aku mengangguk.

"Tapi Bahasa Inggrisku belum terlalu Bagus." Ucapku.

"Tapi jauh lebih baik dari Bahasa Jepangmu yang seperti orang gagu itu."

Aku tersenyum menanggapi perkataannya.

"Kamu masih punya waktu untuk persiapan seleksi tahun depan." Ucapnya. "Aku akan bantu. Mulai sekarang kita wajib berbicara dalam Bahasa Inggris. Kalau ada yang ngomong dalam Bahasa Indonesia, bayar goceng."

Aku mengangguk. "Ide bagus."

Namun seketika banyangan Fadil kembali inggap dipikiranku. Saat dia kembali tahun depan, aku juga harus bersiap untuk pergi. Semesta tampak begitu tidak memihak.

Bagas sepertinya menangkap perubahan dari raut wajahku.

"Aku tidak tau lagi bagaimana cara memintamu melupakannya."

Bagas lalu meraih pundakku dengan tangannya.

"Mumpung aku baru putus, bagaimana kalau..."

Aku segera memotong perkataannya. "I don't fuck with my best friend" Ucapku.

Bagas melepas tangannya dari pundakku, lalu meraih bantal guling yang ada di sebelahnya. Dia melempar bantal guling itu ke padaku. "So your first English words to me is I don't fuck with my best friend?" Ucapnya.

Aku tertawa, lalu disambut oleh tawa yang tidak kalah keras oleh Bagas.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang