Dua Belas

3.1K 156 1
                                        

Sabtu sore, seperti yang sudah-sudah, akan aku habiskan dengan bermain Playstation bersama Bagas di kamarku. Dia datang ke kamarku sekitar pukul lima petang. Bagas muncul di pintu kamar sambil melambaikan sebuah CD Playstation baru di tangannya. Itu game pertempuran seri terbaru yang sudah kami tunggu-tunggu sejak berbulan-bulan yang lalu.

Aku sedang memilih karakter dan senjata yang akan aku gunakan, ketika nada notifikasi ponselku berbunyi. Dengan malas-malasan aku menyalakan layar, lalu menggulir panel notifikasinya ke bawah. Tampak sebuah pesan chat dari Fadil. Lagi di mana?

"So protective." Celetuk Bagas. Setelah dengan lancang mengintip ponselku, dia beralih kembali ke layar TV.

Aku tak mengubrisnya. Aku segera meraih ponselku yang tergeletak di atas kasur itu, dan membalas pesan dari Fadil.

Lagi di rumah, Dil. Kenapa?

Sedetik kemudian dia tampak sedang mengetik sesuatu. Aku lagi di dekat rumahmu. Aku ke sana ya.

Oke, Dil. Ditunggu.

Setelah selesai memilih karakter dan jenis senjata yang kami gunakan. Kami memulai pertempuran.

"Dia ngajak ngadate?" Tanya Bagas dalam Bahasa Inggris.

Segerombolan tim Bagas tampak muncul mendekat ke arahku. Sebelum bersembunyi di balik tembok, aku melempar bom asap ke depan mereka. Asap memenuhi ruangan, dan memberiku waktu untuk menyelamatkan diri.

"Dia lagi jalan ke sini." Jawabku menjelaskan.

"Jadi besok kamu akan ganti sprei lagi?" Ledeknya.

Aku mengabaikan perkataannya. Situasi genting di layar TV lebih menyita perhatianku. Karakter Bagas muncul tepat di depanku. Aku segera mengganti senjata api yang aku gunakan dengan sebuah pisau, begitu juga dengan Bagas.

Aku segera menerjang ke arah jantungnya. Sebelum ujung pisauku mendarat di sasaran, Bagas dengan sigap menghindar. Sejurus kemudian dia menghunus lengan kiriku dengan pisau di tangannya.

Aku hendak bundur, namun Bagas lebih siap. Dia menerjangku dengan kakinya. Aku terjatuh, dan Bagas segera menindihku. Lalu dia menghujam pisau itu berkali-kali ke dadaku. Aku kalah kehabisan darah.

'So easy." Ucapnya menyeringai.

"Ada temanmu di depan." Ibu datang ke kamarku ketika aku mengganti karakter game dan memilih senjata yang lebih powerful untuk mengalahkan Bagas.

"Suruh masuk aja, Bu."

Sesaat setelah ibu menghilang di balik pintu, Bagas berbisik ke padaku. "Kita tidak akan melakukan threesome-kan malam ini? Aku tidak siap" Dia terkekeh di ujung kalimat Bahasa Inggrisnya.

"In your dream." Balasku.

Aku berjalan menuju pintu kamar. Sebelum aku mencapai pintu, Bagas muncul di balik gorden yang terbuka.

Dia tersenyum padaku. Lalu memeringkan kepalanya sedikit, mengangguk ke arah Bagas yang berada di belakang sana.

"Masuk, Dil." Ucapku.

Aku lalu memperkenalkan Fadil ke pada Bagas.

"Teman kantor Tommy?" Tanya Bagas seolah dia tidak tau apa-apa.

Fadil mengangguk. "Teman kuliah juga."

"Oh." Bagas mengangguk." Aku teman dari bayi." Dia tampak congkak, seolah menjadi pemenang.

Aku lekas memotong perkataan Bagas sebelum dia bertindak terlampau jauh. "Aku mau ambil minuman dulu." Ucapku menyerahkan stick PS pada Fadil.

Aku segera berjalan ke arah dapur, sambil berharap Bagas tidak melakukan hal-hal aneh. Dengan tergesa-gesa aku mengambil tiga kaleng minuman bersoda dari dalam kulkas, lalu segera kembali ke dalam kamar.

Belum sampai kakiku melangkah masuk ke pintu kamar, aku mendengar tawa mereka. Aku mempercepat langkah, dan mendapati Fadil dan Bagas sedang fokus dengan stick masing-masing.

Bagas tampak melihat sedikit ke arahku, lalu segera berpaling. Dia mendekatkan bibirnya pada telinga Fadil. Seolah ingin berbisik, tapi cukup keras untuk aku dengar. "Tommy memang begitu orangnya, hati-hati saja."

Aku meletakkan kaleng minuman bersoda itu di atas meja belajar.

"What did you tell to Fadil?" Tanyaku pada Bagas.

Bagas mengangkat kedua bahunya, dan tampak fokus pada layar telivisi.

Aku mendekat pada Bagas, lalu meraih stick dari tangannya. "Kamu bilang apa?" Aku lebih kearah takut dari pada marah, berharap Bagas tidak mengatakan yang aneh-aneh.

"I said nothing." Dia lalu merampas stick itu lagi dari tanganku, lalu berpaling ke arah Fadil, dan tersenyum.

"Dia bilang apa, Dil?" Tanyaku.

Fadil tersenyum. "Nggak kok. Kami cuma bercanda."

Bagas tertawa keras menyambut perkataan Fadil. "You looked so afraid."

Aku mengambil bantal gulingku di atas kasur, dan melemparnya pada Bagas.

"Minum dulu, Dil." Ucapku pada Fadil.

Dia mengangguk. "Nanti saja."

Kemudian kami melanjutkan game yang sedang kami mainkan. Kami saling bergantian menjadi lawan. Awalnya aku melawan Fadil, dan berakhir dengan kemenang timku. Fadil yang belum terbiasa dengan game tersebut menyerahkan stick game kepada Bagas, yang langsung diselesaikan dengan baik oleh Bagas. Aku menyerahkan permainan kepada Fadil lagi yang tak terelakkan dibantai dengan mudah oleh Bagas.

"Kalian memang biasa ngomong pakai Bahasa Inggris begini?" Tanya Fadil.

Bagas mengangguk. "Baru setahun ini, sejak Fadil memutuskan mendaftar kuliah di London."

"Supaya terbiasa." Ucapku.

Tidak terasa malam kian menjelang, permainan yang berlangsung seru membuat kami lupa waktu. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya aku dan Fadil masing-masing bisa memperoleh kemenangan dari Bagas.

"Makan dulu, sudah tante siapkan." Ucap ibuku.

'Tidak usah tante, saya juga mau pulang." Ucap Fadil.

"Ayo, Dil. Makan dulu." Ucapku sambil meraih lengannya.

Pertahanan Fadil rapuh. Walau tampak sungkan, dia akhirnya mengikutiku ke ruang makan. Bagas sudah lebih dulu sampai, dan sudah bergabung bersama ayahku.

Selesai makan, kami melanjutkan permainan. Kali ini kami memutuskan untuk memainkan game Fifa 16.

Dua jam kemudian, Fadil pamit pulang. Aku mengantarkannya sampai ke depan rumah. Aku terus memandingi laju motornya sampai dia menghilang.

Setelah itu aku kembali ke dalam rumah. Kedua orang tuaku sudah tidur. Setelah mematikan lampu ruang tengah, aku masuk ke dalam kamar. Lalu menghampiri Bagas yang sudah berbaring di tempat tidurku.

"Nice guy."

Aku tersenyum, lalu berbaring di sebelah Bagas.

"So what are gonna do?" Ucap Bagas. "Are you gonna tell him?

Aku menggeleng. "Aku rasa cukup dengan menjadi teman dekatnya saja. Dia tidak perlu tau."

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang