Dua Puluh Satu

3K 150 1
                                    

Aku sedang menatap satu dari belasan foto hasil bidikan kamera Fadil yang ia kirimkan padaku kemaren malam. Sudah ku-zoom in dan zoom out berkali-kali. Bukan foto dengan latar belakang indah, atau pencahayaan bagus, ataupun angle yang persisi. Hanya foto selfie kami berdua, di depan replikasi kota batavia tempo dulu di Museum Angkut. Fadil tersenyum menghadap kamera dengan bibirnya yang terkatup rapat. Cukup untuk memancarkan aura maskulinnya yang selalu membiusku. Sementara aku ada di sebelahnya, selalu dengan gaya andalanku, telunjuk dan jari tengah membentuk lambang peace. Aku tidak akan lelah memandangi foto ini berjuta kali.

Mungkin foto ini hanyalah satu dari banyak babak yang aku lalui selama tujuh tahun perasaan ini. Babak-babak yang jika aku tuangkan dalam sebuah grafik, maka fluktuasinya sudah cukup untuk menyaingi curamnya naik turun harga saham. Pada satu waktu, aku bisa merasa begitu rendah untuk sekedar mendapatkan perhatiannya. Pada saat lain, aku bisa begitu jumawa dengan berpikir mungkin ada kesempatan, walau sejurus kemudian kembali tersadar untuk berpikir waras.

Aku menarik kembali ingatanku pada saat hari pertama ospek. Grafik perasaanku mungkin dimulai pada salah satu titik tertingginya. Fadil memilih untuk menghampiriku dari sekian banyak manusia di halaman depan fakultas pagi itu. Cukup satu pertanyaan: Jurusan manajemen?. Bertahun-tahun kemudian hanya pria itu yang bercokol dipikiranku. Tidak pernah terganti, bahkan ribuan kilometer atau tujuh jam penerbangan tidak mampu menghapusnya.

Grafik kian meninggi seiring aku mengenalnya berbulan-bulan setelah ospek. Kesimpulan demi kesimpulan aku buat untuk menyenangkan pikiranku. Semua terhempas ketika suatu siang aku berpapasan dengannya di gerbang kampus. Dia sedang mengendari sepeda motor, dengan seorang wanita belakangnya. Aku tersenyum menyapanya, lalu menarik asaku dalam-dalam.

Setelah naik turun itu, beberapa hari yang lalu grafik itu mencapai puncaknya. Fadil telah mengetahui perasaan yang aku simpan sekian lama, dan berjanji untuk memberiku jawaban. Tampak ada harapan disana. Harapan bahwa mungkin dia akan menemukan setitik aku di perenungannya itu.

***

Aku menghabiskan teh hangat yang baru setengah aku minum sesaat setelah menerima pesan chat dari Fadil. Dia mengabariku bahwa dia sedang menuju ke komplek perumahanku. Aku bergegas meninggalkan rumah, menuju tempat kami biasa bertemu setiap pagi.

Tidak lama aku menunggunya, Fadil muncul dari kejauhan. Dia menaikan kaca helmnya ketika sampai di depanku. Sebuah senyuman hangat langsung menyambutku. Senyuman yang membuatku selalu tidak sabar menunggu pagi datang. Senyuman dari pria yang berjanji akan memberiku jawaban.

Aku segera menaiki jok belakang motornya. Tak lama lagi aku akan berpisah dengan tempat favoritku ini. Tempat di mana aku bisa merasa begitu dekat dengannya. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa merasakan hangat tubuhnya menjalar ke dadaku. Siapa yang kelak akan menggantikan posisiku di sini?

Fadil memacu motornya dengan kecepatan sedang. Kami memang sedang tidak diburu waktu. Namun semakin dekat dengan kantor, tiba-tiba aku merasa gamang. Kapan dia akan memberiku kepastian? Pagi ini sesampai di kantor, mungkin siang ini di foodcourt, atau malam ini sepulang bekerja?

Sesampai di kantor, tidak ada tanda-tanda kalau Fadil akan mengucapkan sesuatu. Entah sesuatu yang aku harapkan, atau sesuatu yang akan membuatku patah hati untuk waktu yang lama. Kami berpisah di dalam lift. Saat akan keluar di lantai dua, aku menenggok ke arahnya. Dia hanya mengangguk padaku, seolah memintaku untuk menunggu sebentar lagi. Sedetikpun terasa amat lama dalam penantian seperti ini.

Siang ini tidak jauh berbeda. Kami hanya membahas tentang keseruan liburan di Malang. Beberapa bahkan sudah kami bahas di kereta api dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Ketika kembali ke ruanganku, aku terdasar bahwa kami sama sekali tidak membahas tentang kebun Apel. Bagian ini seolah sengaja untuk dilewatkan.

Selepas makan siang, aku sama sekali tidak bisa fokus dengan pekerjaanku. Pikiran sepenuhnya dikuasai oleh sikap Fadil hari ini. Seolah tidak ada pembicaraan intim antara kami di kebun Apel. Seolah dia tidak pernah mendengar rekaman suaraku di kereta. Seolah dia tidak pernah tau tentang perasaanku padanya. Seolah dia tidak pernah mengatakan bahwa dia juga merasa nyaman di dekatku. Seolah dia tidak pernah berjanji untuk memberiku jawaban.

Mungkin aku yang terlampau berharap sehingga gagal untuk berpikir jernih. Fadil hanya pria baik yang mungkin tidak tau bagaimana cara menolakku dengan tidak menyakiti. Haruskah aku membalas kebaikannya dengan berwajar diri, dan menganggap bahwa tidak pernah ada apa-apa di kebun apel, dan kembali menjadi aku yang mencintainya diam-diam?

Aku menikmati setiap detik yang kami lalui di perjalan pulang. Detik-detik yang sangat berharga yang akan aku rindukan dari London nanti. Momen-momen yang mungkin tidak akan pernah terjadi lagi. Saat aku kembali nanti, mungkin sudah ada seseorang yang menggantikan posisiku di sini.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang