Delapan Belas

3K 165 12
                                    

Aku menjangkau buah Apel yang berada di atas kepalaku itu. Apel hijau yang ukurannya tak lebih dari sebutir telur bebek itu aku tarik dari rantingnya. Setelah membersihkan sebentar dari mungkin sisa-sisa debu yang menempel, aku langsung menggigitnya. Kriuk bunyi kas gigitan buah Apel terdengar bersaut-sautan dari mulutku. Sejurus kemudian, mulutku dipenuhi rasa manis alami yang menyegarkan. Aku melihat sisa gigitanku pada buah itu, di balik kulit hijaunya tersembunyi daging putih yang segar. Buah Apel fresh from the oven.

Aku bergerak ke sisi pohon lain. Kali ini buah Apel siap petik itu berada tepat di depan tubuhku. Hanya butuh sedikit usaha untuk melepaskannya dari ranting. Aku lalu memasukan buah itu ke dalam kantong plastik di tangan. Yang ini untuk oleh-oleh ke Jakarta.

Dari celah-celah antar ranting pohon berakar tunggang itu, aku bisa melihat Fadil di ujung sana. Dengan sedikit menjinjit, dia meraih ranting pohon di atas kepalanya. Bagian bawah baju kaos hitamnya terangkat, menampakkan otot perutnya yang datar. Dia berhasil meraih ranting itu, lalu menariknya semakin ke bawah dan membuat dua buah Apel yang bercokol di ujung ranting itu bisa terjangkau dengan tangan kirinya. Dia lalu melahap satu buah dengan hikmat.

Aku berjalan mendekat padanya. Berada di dekatnya mungkin akan menjadi momen langka bagiku setelah ini. Rasanya terlalu sayang melewati saat bersama dengan saling berjauhan. Hubungan Fadil dan Anita semakin hari semakin dekat. Sebentar lagi tampaknya tak akan ada banyak waktu yang aku punya untuk bisa sedekat ini dengannya. Mereka akan terlalu sibuk untuk menikmati momen berdua. Aku tidak punya hak untuk menginterpensi.

Fadil menyadari kehadiranku. Dia tersenyum, lalu menyerahkan satu buah lain yang baru dia petik padaku.

"Yang ini enak banget. Beda dari yang lain." Ucapnya

Dengan ragu, aku menerima Apel dari tangannya. Apa bedanya? Pikirku. Sehamparan kebun Apel ini bibitnya sama, diterpa sinar mentari yang sama, diselimuti suhu yang sama, dan dirawat dengan cara yang sama.

Dia seperti bisa membaca pikiranku. "Yang ini jauh lebih manis dan renyah." Ucapnya.

Saat daging Apel renyah itu bertemu dengan gigiku, lalu cairan dari dagingnya meluber memenuhi mulut, aku langsung paham apa yang Fadil maksud. Buah Apel yang sedang matang sempurna.

"Benarkan?"

Aku mengangguk padanya sambil mengacungkan jempo kanan, tanda setuju. Aku lalu melahap habis buah apel hijau pemberiannya itu. Buah Apel terbaik di kebun ini yang dia hadiahi untukku.

Apa artinya itu? Aku berusaha keras untuk tidak membuat kesimpulan apa-apa. Kesimpulan sepihak yang mungkin hanya akan membuatku semakin kecewa.

Nyatanya aku gagal mengendalikan pikiranku sendiri. Aku, dengan tidak tau malu, merasa kalau dia baru saja memberikan perhatikan lebih untukku. Tentu saja aku salah. Apa spesialnya memberikan sebuah apel dari ratusan buah apel lain yang bisa kami lahap sepuasnya di kebun ini?

"Mau bawa oleh-oleh berapa banyak?" Tanya Fadil.

Aku menyelesaikan kunyahan terakhirku, lalu menjawab pertanyaannya. "Tambah sedikit lagi kayaknya." Ucapku sambil menimbang-nimbang kantong plastik di tanganku.

Fadil bergerak ke pohon Apel lain di sebelah kami. Dia memetik beberapa buah, lalu memasukan ke dalam kantong plastik di tanganku.

"Kamu tidak tambah lagi?" Tanyaku sambil melihat ke kantong plastiknya. Tampaknya memang sudah cukup banyak.

Dia menggeleng. "Cukup segini."

Kami bergerak ke arah pohon lain yang tampak lebih lebat.

Aku memetik satu buah yang tampak cukup besar di banding yang lain, warna hijaunya juga lebih tua dari Buah Apel lain yang sudah kami ambil. Aku lalu menguyahkan perlahan, memastikan apakah ada perbedaan rasa dari Buah Apel yang sebelumnya aku makan.

"Lebih enak dari yang tadi?" Tanya Fadil.

Aku menggeleng. "Masih kalah."

Tanpa aba-aba, Fadil meraih tangan kananku yang masih memegang Apel. Dia lalu mengarahkan ke mulutnya. Dia menginggitnya tepat di sebelah bekas gigitanku.

Aku menelan ludah.

"Iya, lebih enak yang tadi." Ucapnya.

Fadil bergerak ke arah lain, sementara aku masih membatu berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

Dalam keadaan yang belum sepenuhnya sadar, aku tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak pernah aku ucapkan. "Dil, aku mau berbicara sesuatu." Ucapku begitu saja.

Aku ingin menarik kembali kata-kata itu, namun Fadil sudah terlanjur mendengar. Dia memutar tubuhnya menghadapku.

Keringat dingin seketika membanjiri tubuhku.

"Ya?" Tanyanya.

Tidak, aku tidak akan mengatakan perasaanku padanya. Aku tidak siap dengan jawaban menyakitkan apa yang akan dia ucapkan. Aku tidak akan pernah siap untuk kehilangan pertemanan kami.

"Habis ini kita beli oleh-oleh tempat lain ya." Ucapku sekenanya.

"Kamu mau bilang itu?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

Aku hendak melangkah untuk menjauh darinya, untuk menyembunyikan kebohonganku.

"Bukan tentang rekaman suaraku di hpmu?" Tanyanya.

Seketika langkahku terhenti. Aku segera menunduk, tidak kuasa menatap matanya. Berakhir sudah liburan yang menyenangkan ini, berakhir sudah pertemanan kami.

"Aku mendengarnya, sebelum kamu ganti." Ucapnya lagi.

Sudah jangan lanjutkan, pintaku dalam hati.

Tapi tunggu dulu, tidak ada yang berbeda dari nada suaranya. Tidak ada kemarahan, tidak ada kegeraman, tidak ada kebencian. Dia berbicara dengan intonasi yang sama dengan yang selalu aku dengar.

Aku memberanikan diri mengangkat kepalaku, mencari sorot matanya. Apakah masih seteduh yang selalu aku ingat?

Aku mengangkat kepalaku lebih tinggi, dan lalu mendapati senyum lembut itu, sorot mata teduh itu, bukan wajah murka, bukan tatapan tajam menghakimi.

"Maaf, Dil." Ucapku menghiba.

Dia menggeleng. "Maaf untuk apa?"

"Kamu tidak marah?" Tanyaku memberanikan diri. Aku ingin memastikan bahwa keadaan baik-baik saja, bahwa hari ini bukan hari terakhir pertemanan kami, bahwa dia tidak membenciku seperti yang selama ini aku takutkan.

"Mengapa perasaan harus dibalas dengan kemarahan?" Tanyanya.

Aku tersenyum. "Apakah itu berarti ada harapan untukku mendapatkan perasaan yang sama?"

"Berita aku waktu." Ucapnya.

Aku mengangguk.

Sebuah jawaban diplomatis. Cara paling baik untuk mengatakan tidak. Mungkin aku tidak mendapatkan hatinya, namun setidaknya aku tidak kehilangan pertemanan kami.

"Aku tidak bisa janji apa-apa." Ucapnya.

Aku tersenyum.

Terima kasih telah menolakku dengan cara sebaik ini, pikirku.

"Kamu tau, satu bulan ini aku sering berpikir, kenapa kita tidak pernah seakrab ini dulu waktu di kampus?" Ucapnya.

Pada saat itu aku tau, bahwa yang sedang Fadil ucapkan bukan lagi jawaban diplomatis. Dia sedang berusaha jujur, bukan padaku, namun pada dirinya sendiri.

"Aku tidak pernah senyaman ini dengan seorang teman pria, selain bersamamu." Lanjutnya. "Aku benar-benar tulus mengatakan, beri aku sedikit waktu."

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang