Empat

4.1K 181 2
                                    

Taksi daring yang aku tumpangi mendekat ke sebuah bangunan ruko. Di ruko itulah berada cafe tempat aku dan teman-teman kuliah berjanji akan bertemu. Sebelum taksi berhenti sepenuhnya, aku sempatkan mengintip wajahku melalu kamera depan ponsel. Memastikan kembali rambut yang baru aku pangkas itu masih rapi sebagaimana mestinya.

Aku merapikan kemeja lengan panjangku yang sedikit terangkat ke atas. Lalu, kutarik gagang pintu kaca cafe itu. Tak butuh perjuangan berat, mataku langsung menangkap sosok Fadil di sudut sana. Dia sedang mengobrol seru dengan dua teman lain yang sudah datang duluan. Aku segera mengatur nafas menahan luapan rindu yang membuncah.

Kupercepat langkahku menuju tempat mereka duduk. Tidak sabar rasanya mengakiri penanti tiga tahun.

Aku berada tiga meter dari mereka, ketika Fadil tampak menyadari kedatanganku. Dia berdiri, lalu menghadiahkanku sebuah senyuman. Senyum yang lebih manis dari beberapa bungkus coklat kas Jepang yang dia bawa sebagai oleh-oleh.

"Hi, Tom. Long time no see." Dia menyodorkan tangan padaku.

Aku meraih tangannya.

Sungguh ucapannya itu terdengar seperti kalimat I miss you.

Aku duduk pada bangku kosong di depan Fadil. Posisi yang amat pas untuk mengamati apa yang masih sama dan apa yang sudah berubah dari pria itu.

Rambut yang dulu menjalar hingga ke kuping, kini sudah dipangkas pendek. Poni yang dulu menutupi jidatnya telah disisir rapi. Fadil telah menanggalkan sisi remajanya, dan bertransformasi menjadi seorang eksekutif muda. Aku tidak sabar menungggu kabar, di perusahaan mana dia akan bekerja, dan siapa calon-calon rekan kerja yang akan diam-diam menaruh hati padanya, seperti aku dulu dan tetap hingga kini.

Tubuhnya masih sama dengan terakhir kali aku lihat, tidak terlalu kurus ataupun berisi. Perutnya rata tampak dari balik polo shirt slim fit yang dia kenakan. Lekukan kecil otot-otot lengannya masih ada, mengintip di bawah lengan bajunya. Aku masih membayangkan kenyamanan yang sama, seperti saat dia merangkulku di hari wisuda.

Imron sedang bercerita tentang masa-masa kuliah kami dulu. Aku sesekali menanggapi, dan lebih banyak mencuri pandang ke arah Fadil.

"Kalau orang pertama yang aku kenal di kampus itu Tommy." Ucap Fadil.

"Di hari pertama ospek?" Ucapku.

Aku tidak menyangka dia masih mengingat momen itu.

Fadil mengangguk. "Aku hampir telat datang waktu itu, buru-buru masuk barisan. Kebingungan mencari jurusan manajemen."

"Kamu juga telat di hari ke dua." Ucapku. Semoga dia menangkap maksudku, bahwa tujuh tahun berlalu, dan aku tidak melupakannya sedikitpun.

Dia tertawa. "Dan akhirnya aku dihukum, dan terpaksa tampil di penutupan ospek.

Aku masih menyimpan rekaman suaramu, pikirku dalam hati.

Makanan yang kami pesan akhirnya datang.

Saat sedang menikmati makanan itu, Fadil berbicara padaku. "Kamu kerja di Bank of Australia kan, Tom?" Tanyanya.

"Iya, Dil."

"Yang di SCBD?"

Aku mengangguk.

"Kemaren aku interview di sana." Ucapnya.

Aku mehanan gerakan tanganku yang sedang memotong steak yang dimasak medium rare itu. Memusatkan seluruh perhatianku pada apa yang akan diucapkannya.

"Besok senin aku tanda tangan kontrak."

Aku menahan luapan emosi gembira yang membuncah dari dada. Itu seperti kau mendapatkan sebuah doorprize yang hadiahnya sesuatu yang kau impikan sejak lama, namun kau harus tetap stay cool demi menjaga citra.

"Kita satu perusahaan?" Ucapku riang. Aku menjaga nada bicaraku agar tetap pada kadar yang pas.

Fadli mengangguk, tersenyum padaku.

"Divisi apa?"

"Treasury" Jawabnya.

Berbeda tiga lantai. Bukan masalah.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang