Dua Puluh Tujuh

2.9K 148 4
                                    

Keluar dari kantor membuat intensitas pertemukanku dan Fadil menurun drastis. Tidak usah berharap tiga kali sehari seperti sebelumnya, dua kali dalam seminggupun aku sudah harus bersyukur. Mungkin ini latihan yang tepat sebelum nanti berpisah ribuan kilometer, dan berbeda zona waktu berjam-jam.

Fadil mengajakku makan malam di sebuah restauran Thailand malam ini. Sepanjang makan malam, kami mengobrol tentang banyak hal. Aku tidak melepaskan tatapanku padanya sepanjang obrolan, dan memfokuskan seratus persen pendengarku pada suaranya. Aku sedang mengisi penuh memoriku tentang lekuk bibirnya saat tersenyum, tentang binar matanya saat membicarakan tentang kami, atau tentang renyah suaranya saat tertawa. Masih terasa amat kurang untuk stok setahun.

"Balik yuk." Ucap Fadil.

Aku melihat jam tanganku yang menunjukan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Memoriku belum penuh, entah apa bisa penuh. Ingin memintanya untuk sebentar lagi berada di sini, namun restoran ini sudah akan tutup.

Bisakah kita pergi ke suatu tempat di mana hanya ada kita berdua. Pikirku.

Namun permintaan itu tidak jadi aku ucapkan. Kami sudah bergerak cepat di tengah jalan raya, dan tau-tau sudah berhenti di depan rumahku. Berat rasanya turun dari motor itu. Tak ingin rasanya menyudahi hari ini, karena ketika esok datang berarti kami satu hari lebih dekat dengan perpisahan.

Aku masuk ke dalam kamar tidurku. Kali ini tidak ada kalender yang menyambutku di atas meja. Aku sudah menyembunyikannya jauh di bawah tumpukan baju di dalam lemari. Setiap melihat kalender itu aku merasa dicekik oleh waktu.

Aku duduk di tempat tidur, lalu menyandarkan punggungku pada dinding. Tepat di depan sana, di sebelah televisi, detik jam alarm bergerak begitu cepat. Dia sedang mempelototiku, dan siap mencekikku lebih erat dari pada kalender di atas meja.

***

Malam minggu terakhir kami sebelum aku berangkat, akhirnya datang. Maka inilah kami sedang duduk di salah satu bangku bioskop nomor lima dari atas. Menikmati kencan terakhir sebelum aku pergi ke London. Layar bioskop sedang menampilkan adegan kejar-kejaran di tengah jalanan New York. Sepasang tokoh utama sedang berjuang mengalahkan musuh mereka. Sementara sepasang penonton sedang bertarung mengalahkan waktu.

Sehabis menonton, kami makan malam di sebuah restauran Italia. Kali ini kami tidak duduk beradapatan, namun bersebelahan. Bahu kami sesekali menempel, menghadirkan rasa nyaman dan sebuah keyakinan di dalam dadaku bahwa pria ini pasti akan menungguku kembali.

Kami melewati malam ini begitu cepat, entah mengapa Fadil begitu terburu-buru untuk pulang. Motornya memacu begitu cepat, padahal aku ingin menikmati dingin malam bertemankan hangat punggungnya. Sesampai di depan gerbang komplek perumahanku, Fadil menghentikan laju motornya. "Ke rumahku sebentar yuk." Ucapnya.

Kami sampai di rumah Fadil sekitar sepuluh menit kemudian. Suasana rumahnya tampak gelap, lampu ruang tengah mati, pun begitu dengan lampu teras. Fadil meraih kunci rumah dari tas ranselnya, lalu mempersilahkan aku masuk setelah membuka pintu itu.

Aku berada beberapa langkah di depan Fadil. Lalu terdengar bunyi saklar di tekan, sepertinya berada di sebelah pintu. Lampu menyala, sedikit menyilaukan mataku yang belum beradaptasi. Di belakangku terdengar suara pintu yang ditutup.

Aku memperhatikan kondisi rumah. Di depan sana tampak foto Fadil dengan keluarganya.

Lalu aku merasakan tangan Fadil menyusup memasuki celah antara tangan dan pinggangku. Dia meletakkan dagunya di pundakku. "I love you." Ucapnya dengan lirih.

"Ada keluargamu." Ucapku. Aku menjaga nada suaraku sepelan mungkin.

"Orangtuaku sedang ke luar kota. Adikku menginap di rumah temannya."

Aku membalik badanku menghadap Fadil. "I love you too." Ucapku sambil memeluk tubuhnya.

Aku membiarkan memoriku mencatat sepuasnya betapa hangat berada dalam dekapan pria ini.

Setelah beberapa lama, aku menarik tubuhku kembali darinya. Kami saling menatap. Fadil mendekatkan bibirnya ke bibirku dengan perlahan. Sesekali dia tersenyum kecil, seolah sengaja untuk membiarkan aku menunggu. Disaat itulah pertahanku melemah, aku tidak kuasa lagi menunggu. Aku ingin segera merasakan lembut bibir tipis itu. Aku memotong jarak antar bibir kami yang masih terasa sangat jauh, dan mempertemukan mereka seperti seharusnya.

Fadil menuntunku ke kamar tidurnya. Lampu dinyalakan, dan pintu kamar dibiarkan terbuka. Kami telah duduk di ujung kasurnya, dan menatap satu sama lain. Dia membelai pipiku dengan lembut, lalu bergerak turun menemui ujung bibir sebelah kiriku. Dia mempermainkan jarinya di sana sebentar, lalu turun hingga ke daguku.

Fadil kembali menciumi bibirku. Kemudian dia menurunkan bibirnya ke leherku, dan mengecupnya berkali-kali. Aku menengadah ke langit-langit kamarnya, merasakan desir darahku yang mulai meninggi. Kurasakan saat dia membuka satu atau dua kancing kemejaku. Lalu mendaratkan bibirnya kembali di dadaku yang kembang kempis. Nafasku semakin tak beraturan. Aku mendesah mengimbangi hasrat yang semakin menjadi.

***

Pagi itu aku terbangun, dan mendapati Fadil masih tertidur pulas di sebelahku. Aku bangkit, lalu menopang tubuhku dengan siku sebelah kiri. Kuturunkan sedikit selimut tebal yang menutupi tubuh kami berdua. Dengan posisi seperti ini, aku bisa melihat ke arah lantai kamarnya, tempat di mana pakaianku bersama dengan pakaian Fadil berserakan begitu saja. Aku tersenyum, mengingat kembali apa yang baru saja terjadi tadi malam.

Aku mengarahkan perhatianku pada wajah damai di sebelahku. Kini aku sudah punya cukup memori untuk bekal setahun ke depan. Setiap kali aku merindukannya, aku sudah memiliki stok senyumnya di memoriku. Rekaman tawanya sudah tersimpan bergiga-giga di alam bawah sadarku. Hangat dekapannya telah tersimpan di pori-pori kulitku, siap aku nyalakan kembali kapanpun aku merindukan kehangatan itu.

Tanpa aku sadari, Fadil sudah membuka matanya. Dia tersenyum, lalu mengerjap tubuhku. Aku tidak melawan, kubiarkan kepalaku mendarat di dadanya.

"Tunggu aku kembali ya." Ucapku lirih.

Fadil menjawabnya dengan sebuah usapan lembut di rambutku.

***

Aku berangkat ke bandara dengan kata siap. Selain keluargaku, Fadil dan Bagas juga ikut mengantar ke bandara. Sebelum memasuki ruang tunggu bandara, aku memeluk mereka satu per satu. Walau kata siap itu berulang kali aku dengungkan di pikiranku, nyatanya aku tetap tidak kuasa menahan haru.

"Segera kembali, aku masih punya utang. " Ucap Bagas sambil memelukku erat.

"Utang apa?" Tanyaku. Aku membenamkan diriku pada pelukan sahabatku itu.

"Utang jadian sama Annita." Ucapnya.

Kami sudah menarik diri dari pelukan masing-masing.

"Berhasil?" Tanyaku.

Dia mengangguk, tampak menyombongkan diri.

"Kenapa tidak bilang dari kemarin?" Ucapku kesal. "Jadian sekarang, traktirnya setahun lagi."

Aku beralih ke arah Fadil yang berdiri di samping Bagas. Ragu-ragu aku memeluk kekasihku itu. Aku takut tidak kuasa menahan diri. Kurasakan juga keraguan yang sama pada dekapan Fadil. Bagaimanapun juga keluargaku ada di dekat kami.

Berapa lama dua orang laki-laki yang mencitrakan diri sebagai sahabat, wajar untuk berpelukan? Aku tidak sempat memikir ini sebelumnya. Setelah beberapa detik saling mendekat, kami menarik diri dari satu sama lain. Semoga tidak terlihat lama di mata orang lain.

Aku melambaikan tangan pada mereka. Setelah menarik nafas untuk menenangkan emosi di dadaku, aku bergerak dengan yakin menuju ruang check in bandara.

Sesaat sebelum meletakkan bawaanku ke dalam mesin X-Ray, aku merasakan getaran pada ponselku. Itu sebuah pesan dari Fadil.

I love you. Segeralah kembali.

Aku segera membalas pesan itu. I love you too. Tunggu aku.

Tiba tiba saja mataku serasa berair.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang